Mohon tunggu...
Icuk Prayogi
Icuk Prayogi Mohon Tunggu... Dosen - R A H A S I A

Pencinta kucing--pegiat linguistik deskriptif--pengajar bahasa Indonesia dan linguistik--kontributor akun @kenalLinguistik :)

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Penerapan Konsep Termarkah-Tak Termarkah pada Kalimat dalam Bahasa Indonesia

2 September 2012   03:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:01 1327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Tulisan ini adalah catatan sederhana tentang salah satu konsep pendeskripsian satuan-satuan lingual dalam linguistik umum.  Saya tidak tahu siapa yang mencetuskan konsep ini, tetapi agaknya cukup banyak dipakai oleh linguis-linguis beraliran Americana. Agak rumit, tetapi cukup berguna dalam menjelaskan mana struktur "asli" dan mana yang "turunan". Namun, sejumlah kesulitan ditemukan saat berusaha menerapkannya dalam struktur kalimat dalam bahasa Indonesia. Belumlah tuntas tulisan ini karena hanya berdasarkan opini dan belum dilakukan studi pustaka maupun analisis lanjutan. Semoga ada diskusi yang menyenangkan. Amiin :)

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tak Termarkah

Unmarked ‘tak termarkah’ ialah terminologi yang dipakai dalam linguistik dalam berbagai senses ‘kesadaran’. Istilah ini dipakai untuk mereferen properti dari bahasa yang lebih netral, biasa, diharapkan atau  umum daripada sebuah properti hubungan, yang dikatakan sebagai marked ‘termarkah’ (Crystal, 2008).

Nilai dari yang tidak termarkah dalam beberapa pendekatan juga disebut default values ‘nilai asli’ yang dapat dikendalikan oleh kondisi-kondisi yang memungkinkan suatu kategori dimasukkan jika memungkinkan, tetapi tidak dipaksakan.

Dalam sintaksis, istilah tak termakah digunakan untuk mengacu pada konstruksi yang lebih universal, misalnya dalam urutan kata dalam bahasa Indonesia, unmarked word order akan mengacu pada urutan kata SVO. Jika ditemukan urutan kata lainnya dalam beberapa kasus tertentu, maka urutan kata tersebut dinamakan marked word order. Contoh lain, misalnya, perihal kasus. Secara universal, kasus yang unmarked adalah kasus akusatif karena kecenderungannya muncul di banyak bahasa, tidak seperti kasus lainnya yang bersifat language-specific atau lebih minoritas.

Termarkah

Istilah (ter)markah berkaitan dengan sesuatu yang lebih “alternatif” atau lebih “khusus”. Dalam tataran sintaksis, terminologi ini mengacu pada konstruksi yang biasanya diturunkan dari bentuk unmarked. Hal ini juga tidak jauh berbeda dalam tataran morfologis, misalnya bentuk dogs diturunkan dari dog, maka dogs merupakan bentuk termarkah dan dog merupakan bentuk tak termarkah. Maksudnya, tidak mungkin dog diturunkan dari dogs, tetapi sebaliknya.

Simpulan

Crystal (2008:295) membuat perbandingan, yakni "termarkahvstak termarkah" berhubungan dengan presence vs.absence kehadiran vs ketidakhadiran’ dari fitur-fitur lingual tertentu. Bentuk atau konstruksi yang termarkah cenderung menghadirkan fitur tambahan yang tidak ada dalam bentuk atau konstruksi unmarked-nya.

Misalnya

(1)

a. book

(tak termarkah)

b. books

(termarkah; karena kehadiran plural -s)

(2)

a. Someone is knocking the door.

(tak termarkah)

b. There is someone knocking the door.

(kehadiran theremenjadikan kalimat ini termarkah)

Terminologi termarkah-tak termarkah ini digunakan dalam membandingkan dua bentuk atau konstruksi seperti di atas.

Konsep perupaan termarkah-tak termarkah dapat digambarkan dengan suatu relasi asimetris; dalam konsep ini salah satu bersifat lebih dominan dan yang lainnya bersifat lebih minoritas. Pemaksudan "lebih dominan" adalah karena bentuk atau konstruksi tersebut bersifat umum (tak termarkah) dan dapat menurunkan bentuk atau konstruksi (alternatif) lain (termarkah), misalnya

An eagle’s nest sits at the top of the mountain (tak termarkah) lebih lazim digunakan dan dapat menurunkan konstruksi (alternatif) sebagai turunannya, yaitu At the top of the mountain sits an eagle’s nest (termarkah [inversi lokatif]). Dengan kata lain, jika unmarked bersifat lebih umum, maka marked merupakan bentuk atau properti bahasa yang lebih khusus atau berupa alternatif atau turunan dari bentuk umum tersebut.

Bagaimana penerapannya dalam bahasa Indonesia?

Menerapkan teori/konsep Barat ke dalam bahasa Indonesia tidak semudah membalik telapak tangan. Selalu saja ada kekurangan dan kelemahan. Salah satunya adalah adanya kesulitan dalam penerapan konsep termarkah-tak termarkah ini pada bahasa Indonesia. "Teori" ini dapat diterapkan ke dalam bahasa Indonesia meski ujung-ujungnya ditemukan sejumlah kekurangan dan pemaksaan. Perhatikan contoh-contoh di bawah ini.

(3)

a. kucing

(tak termarkah)

b. kucing-kucing

(termarkah)

(4)

a. Tadi Ibu memasak nasi ini.

(tak termarkah?)

b. Nasi ini tadi dimasak oleh Ibu.

(termarkah?)

c. Dimasaklah nasi ini oleh Ibu, tadi.

(termarkah?)

d. Nasi ini tadi Ibu masak (di dapur Bu Ani).

(termarkah?)

Pada contoh (3) memang telah jelas bahwa bentuk "kucing" merupakan bentuk yang tak termarkah dan bentuk yang bereduplikasi "kucing-kucing" merupakan yang termarkah. Namun, dalam contoh (4) akan ditemui sejumlah kesulitan. Kesulitan pertama adalah menentukan mana bentuk asli (tak termarkah) dan mana bentuk turunan (termarkah) dari contoh (4). Pertama yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi satuan-satuan formal pembentuk konstruksi tersebut, yakni

- (oleh) Ibu

- (me-/di-)masak(-lah)

- nasi (ini)

- tadi

Apabila mengacu pada Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi, dkk.) maka konstruksi 4.a (Tadi Ibu memasak nasi ini.) merupakan yang asali, dan yang lain adalah turunan. Namun, kebakuan bahasa tidak bisa dijadikan patokan dalam melihat konsep termarkah-tak termarkah ini karena terlalu "naif".  Sebagaimana yang telah saya katakan pada tulisan sebelumnya, ragam bahasa baku Indonesia yang disusun oleh Alwi, dkk. lebih "berpihak" pada upaya pendekatan bahasa Indonesia ke bahasa Inggris demi upaya pemudahan pembelajaran dan berpihak pada ragam tulis sehingga Verhaar sempat menyindir TBBBI sebagai "pemograman" dibandingkan "pembakuan". Bahasa Indonesia ragam tulis masa kini memang didominasi oleh konstruksi akusatif, tetapi ragam lisannya cenderung bukan (lihat Verhaar via Kaswanti Purwo, 1989). Jika kita mengacu pada keterangan Verhaar, orang Indonesia cenderung mengucapkan konstruksi seperti contoh 4.a bila berpidato, tetapi cenderung mengucapkan konstruksi sebagaimana 4.d apabila berkelakar. Apabila sering melihat teks-teks sebelum abad 20 maka seharusnya konsturuksi 4.c (Dimasaklah nasi ini oleh Ibu, tadi.) -lah yang asli karena frekuensi kemunculannya lebih banyak (ditandai dengan keberadaan partikel -lah).  Lalu, apabila yang dijadikan topik bahasan adalah "nasi ini" maka konstuksinya adalah 4.b karena dalam pengaturan konstituen-koonstituen dalam konstruksi sintaktik, yang penting bukanlah konstruksinya apa, tetapi manakah yang ditopikkan dan mana yang dikomentari (lihat konsep Topik-Komen atau Theme-Rheme, serta Informasi Lama-Informasi Baru [Given-New]).

Konsep termarkah-tak termarkah ini berhubungan dengan adanya konsep transformasi dalam aliran Chomskyan. Bila telah ditemukan konstruksi "asli"nya, maka transformasi yang teratur dapat ditentukan. Namun, menilik penelitian-penelitian sintaktik berobjekkan bahasa Indonesia dan tentu saja melihat fakta di atas, nyatanya ditemukan kesukaran untuk mendeskripsikan mana konstruksi kalimat yang termarkah dan tak termarkah. Tetapi kesukaran ini kemungkinan tidak disebabkan hanya oleh "pemaksaan" konsep saja, melainkan juga karena sedikitnya penelitian sebelumnya.

Bagaimana menurut Anda?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun