Mohon tunggu...
Moch IchwanPersada
Moch IchwanPersada Mohon Tunggu... Seniman - Sutradara/Produser Film/Pernah Bekerja sebagai Dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Produser film sejak tahun 2011. Sudah memproduseri 9 film panjang termasuk nomine Film Dokumenter Terbaik FFI 2012, Cerita Dari Tapal Batas. Menjadi sutradara sejak 2019 dan sudah menyutradarai 5 serial/miniseri dan 5 film pendek. Mendirikan rumah kreatif Indonesia Sinema Persada dan bergiat melakukan regenerasi pekerja film dengan fokus saat ini pada penulisan skenario.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Otto yang Menari di Atas Luka-Luka

16 Januari 2023   13:04 Diperbarui: 16 Januari 2023   18:50 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun 2021. Dunia terasa gelap bagi saya. Dan saya pun mulai berkenalan dengan depresi.

Pandemi mengubah banyak hal, juga mendatangkan beberapa hal yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Salah satunya adalah depresi yang menjangkiti banyak orang selama periode ini termasuk saya.

Saya menyembunyikan kenyataan bahwa saya mengalami depresi selama beberapa waktu. Saya memang tak terbiasa membicarakan masalah yang menimpa saya dengan siapapun. Tapi depresi adalah masalah yang jauh berbeda dan mengakuinya adalah bagian dari berdamai dengannya.

Tak ada seorangpun yang ingin mengalami episode depresi. Merasa hidup tak berguna. Merasa hidup tak lagi menyenangkan. Dan merasa hidup akhirnya sudah selesai. Saya merasakan semua tahapan itu dan akhirnya mengakuinya secara terbuka. Bahwa saya butuh pertolongan untuk melanjutkan hidup saya.

Otto juga membutuhkan itu. Hidup dirasakannya sudah selesai ketika maut menjemput Sonya, istrinya tercinta. Ia tak punya alasan lagi untuk melanjutkan hidupnya terlebih ketika ia mengalami pemutusan hubungan kerja. Dan setelahnya ia merasa perlu menyusul Sonya secepatnya. Dengan berbagai cara yang terpikirkan olehnya.

Tapi malaikat maut sedang bermain-main dengan Otto. Beberapa kali ia mencoba mengakhiri hidupnya dan selalu gagal. Pertama kali ia mencoba menggantung diri dengan seutas tali, eeh ternyata tali itu tak mampu menahan beban tubuhnya. Ia lantas mencoba meracuni dirinya di dalam mobilnya namun juga berjalan tak sukses. Dan terakhir ia mencoba menembak dirinya sendiri dengan senapan dan lagi-lagi ia gagal.

Otto hidup di masa lalu. Dan ia merasa dirinya tengah menari di atas luka-luka. Yang masih terus berdarah dan belum lagi kering. Penyebabnya karena ia membiarkan luka-luka itu terus menganga. Ia tak mencoba mengobatinya dan membiarkannya sembuh.

Tapi hidup di sekeliling Otto ternyata terus berjalan. Tiba-tiba saja pasangan Tommy dan Marisol dengan dua anak perempuannya yang lucu masuk ke kehidupannya. Tiba-tiba saja tetangga yang pernah menjadi sahabat baginya dan Sonya butuh pertolongannya. Dan Otto tersadar. Ia terlalu lama berkubang dalam lumpur duka. Ia butuh bangkit dan ia segera bangkit dari keterpurukannya.

Di suatu masa, mungkin kita adalah Otto. Yang merasa tak bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu yang mengungkung. Dan kadang terasa memenjarakan. Di suatu ketika, mungkin kita adalah Marisol. Yang bisa melihat kebaikan hati seseorang yang hampir selalu menggerutu sepanjang waktu. Di suatu waktu, mungkin kita adalah Malcolm. Yang tahu kapan harus berhenti untuk mencoba tangguh dan tak sungkan meminta pertolongan.

Dan kemanusiaan lah yang akhirnya membuat kita menjadi manusia seutuhnya. Kita adalah Otto yang tak bisa tinggal diam melihat Marisol yang tak kunjung bisa menyetir. Kita adalah Marisol yang tak bisa menyembunyikan kekhawatiran ketika melihat Otto mengunci dirinya di dalam rumah. Kita adalah Malcolm yang tahu cara membalas budi yang menerima dirinya seutuhnya.

Dan Marc Forster yang pernah mengelus hati penonton dengan dua karyanya, "Monster's Ball" dan "The Kite Runner", tahu betul bagaimana membuat penonton tersentuh dengan segala kejadian demi kejadian yang dialami Otto. Serentetan kejadian yang saling terhubung yang tak hanya mengubah Otto namun juga mengubah apa yang terjadi di sekelilingnya.

Kita juga mungkin terkoneksi secara mendalam dengan Otto berkat faktor Tom Hanks. Dengan peran low-key seperti ini pun, Tom masih bisa membuat kita melihatnya sebagai Otto, pria penggerutu yang sebenarnya cuma butuh 1 hal: persahabatan yang tulus. Kita lupa bahwa Tom pernah menjadi beragam karakter ikonik yang tertinggal di benak kita sekian lama.

Kita tak bisa menghindari luka-luka. Karena hidup tak selalu mendatangkan suka. Kita hanya perlu mencari cara untuk bisa belajar menari dengannya. Seperti saya. Juga seperti Otto.

A MAN CALLED OTTO

Produser: Gary Goetzman, Tom Hanks, Fredrik Wikstrom, Rita Wilson

Sutradara: Marc Forster

Penulis Skenario: David Magee

Pemain: Tom Hanks, Mariana Trevino, Truman Hanks

ICHWAN PERSADA

Sutradara/produser/penulis skenario, pernah menjadi dosen di Universitas Padjajaran dan SAE Institute

*tulisan ini sudah pernah dimuat sebelumnya di Gen Sindo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun