Keresahan Tersamar, Sensualitas MenggeloraÂ
Bicara soal 'selang' boleh jadi akan mengalahkan topik apapun. Tentu saja yang dimaksud disini bukanlah 'selang' dalam pengertian sebagai pipa untuk mengalirkan air. Namun akronim dari (maaf) 'selangkangan'. Yes, soal 'selang' yang satu itu, kita sebut saja dengan pengertian yang umum: seks, selalu menjadi isu menarik untuk dikupas. Maka ketika isu video porno mirip artis mencuat, isu tersebut menyapu bersih berita terhangat Piala Dunia, hingga kasus Century yang belum lagi terungkap.
Seks banyak menjadi pilihan sineas untuk dikedepankan di layar lebar. Ada yang mengarahkannya dengan penuh integritas, ada pula yang dengan berterus-terang, mengakui memanfaatkannya semata untuk komoditi. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Toh seks jika dikemas dalam film, maka yang dinilai bukan muatan seks-nya, tapi karya secara keseluruhan.
"Chloe" (2009) yang secara garis besar mempersoalkan kesetiaan dalam rumah tangga, hingga problematika rapuhnya kepercayaan, juga menyentuh soal seks. Disini kadarnya cukup besar. Ia ditempatkan di garda depan sebagai pendorong cerita, juga (mungkin) sebagai pendorong penonton berduyun-duyun memenuhi kursi bioskop. Atom Egoyan yang duduk di kursi sutradara tahu betul tanggung jawab itu. Maka ia pun berusaha mencoba menyenangkan antara idealismenya dan juga keinginan penonton.
Melalui sosok Catherine (Julianne Moore), semuanya berawal. Sosoknya yang masih rupawan di usia yang tak lagi muda dengan status sosial tinggi dan hidup berkecukupan rupanya dilanda keresahan. Ia melihat suaminya, David (Liam Neeson, dengan karisma yang masih terpancar) masih tegap, masih terlihat ganteng, dan dengan demikian disimpulkannya sebagai 'gampang main mata' dengan perempuan lain. Terlebih David punya profesi sebagai pengajar musik yang memberinya begitu banyak kesempatan bertemu mahasiswi yang jauh lebih muda, lebih sintal, dan lebih seksi.
Keresahan begitu samar dan ditutupi Catherine dengan sempurna. Namun ia tak bisa berdiam diri. Maka ia menemui Chloe (Amanda Seyfried, dengan permainan yang mengejutkan) yang sering dilihatnya melalui jendela kantornya yang elegan. Dari penampilan maupun sikap tubuhnya, jelas terlihat bahwa Chloe adalah wanita panggilan. Chloe agak terkesima ketika dihampiri Catherine, namun ia akhirnya tahu tugas apa yang harus diembannya. Catherine menemuinya demi membuktikan bahwa David benar adalah sosok lelaki yang tak tahan godaan perempuan lain.
Egoyan pun membawa kisah itu kedalam jalinan cerita yang tak rumit namun bisa pula membuat penonton berdegup. Berdegup menunggu apa yang akan disajikan Egoyan selanjutnya di layar dan juga berdegup menyaksikan bagaimana Amanda Seyfried yang biasanya kita kenal dengan perannya sebagai gadis remaja baik-baik, menjelma jadi perempuan yang tahu betul memanfaatkan tubuhnya untuk tujuan apapun. Dan penonton pria akan menahan nafas melihat bagaimana Moore dan Seyfried melakukan adegan (maaf) seks yang membakar layar.
Tone maupun adegan-adegan film memang dibuat sedemikian rupa, sehingga konsep thriller erotis terjaga. Memang itulah yang dimaui Chloe. Dan ia punya formula yang cukup untuk menjadikannya sebagai tontonan dengan daya ledak yang mengejutkan penonton.
Memang dibanding "Exotica" (1994) yang mengantar Egoyan ke level jajaran sutradara terkemuka dunia, "Chloe" terasa 'tak ada apa-apanya'. Begitupun film ini akan menambah referensi untuk mengombinasikan seks dan thriller dalam satu paket. Perlu racikan resep pas yang bisa membuatnya jadi film yang tetap terjaga kualitasnya, sekaligus tetap saleable. Dan dengan segala kekurangan yang dipunyai, rasanya "Chloe" masih bisa memperlihatkan itu semua. Terasa ada cita rasa "Fatal Attraction" (1987) di dalamnya, namun Egoyan juga berusaha keras untuk menempatkan ciri khasnya dalam karyanya ini.