Siapa bilang kultur yang pekat dengan nuansa lokal tak mampu dinikmati penonton global? Ada sederet contohnya. Dari ajang festival, film "The Cup" (Khyentse Norbu, 1999) yang datang dari negeri kecil, Bhutan mampu berjaya di Festival Film Cannes dan dipertunjukkan di sesi Un Certain Regard. Sementara "My Big Fat Greek Wedding" (Joel Zwick, 2002) yang kental nuansa Yunani, laris manis di box office tanpa didukung satupun bintang terkenal.
Gurindher Chadha yang telah melahirkan dua film dengan tradisi serupa, masing--masing "Bhaji On The Beach" (1994) dan "What's Cooking?" (2000), terlihat masih piawai meramu dua kultur berbeda di film ketiganya, "Bend It Like Beckham" (2002). Chadha yang berdarah India menghadirkan keluarga imigran India di tengah daerah sub-urban Inggris.Â
Yang membuatnya unik, Chadha memperkaya ceritanya dengan sajian kisah gadis remaja India bernama Jess (Parminder K. Nagra) yang ternyata penggila bola dan pengagum David Beckham. Tak usah ditanya 'kegilaan' Jess pada sosok Beckham.Â
Kamarnya yang dipenuhi poster Beckham berukuran besar menjadi saksi. Tak hanya itu, Jess yang mahir menggocek bola dan tak kalah dengan laki--laki, ternyata mahir pula menendang bola lengkung khas Beckham.
Karena dituturkan secara komedi, maka "Bend It Like Beckham" jadi menyenangkan untuk dinikmati oleh penonton. Tapi tak berarti Chadha menggarapnya menjadi tontonan yang tak punya arti. Berkat kejeliannya akan budaya moyangnya sendiri, ia pun 'berani' mengaduk--aduk kisah dengan memasukkan perseteruan Jess dan orang tuanya yang tak suka anak gadisnya berlarian di lapangan bola.Â
Tak cuma itu, dengan cerdik Chadha menebarkan berbagai konflik yang berawal dari kesalahpahaman (khas formula komedi) yang diperhitungkannya mampu mengundang senyum. Lihatlah betapa konyolnya calon mertua Pinky (Archie Panjabi) yang mengira Jess sedang berciuman dengan seorang pria di pinggir jalan. Padahal, Jess tengah bercanda dengan teman wanita satu timnya, Jules (Keira Knightley).
Demi memuaskan penonton belia, maka Chadha merasa perlu berkompromi dengan menghadirkan 'bizarre love triangle', cinta segitiga antara Jess, Jules dan pelatih mereka, Joe (Jonathan Rhys-Meyers). Nah, inilah titik lemah "Bend It Like Beckham".Â
Bagian ini yang membuat ritme cerita jadi mengendur dan mengecewakan penonton yang bosan dengan tayangan formulaik. Apalagi dengan mudahnya Chadha menyelesaikan cerita, mungkin karena dikejar durasi. Jadinya konflik antara Jess, Jules dan Joe hanya terasa di permukaan, padahal mestinya masih lebih bisa digali.
Apapun, "Bend It Like Beckham" jadi menyegarkan berkat pemilihan tema yang unik. Serupa dengan "The Cup", "Bend It Like Beckham" pun rasanya akan mudah digandrungi penggila bola.Â