Mohon tunggu...
Ichsan Andika
Ichsan Andika Mohon Tunggu... Lainnya - ...selama ia tidak menulis, ia akan hilang didalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Ernst Schnabel meninggal 25 Januari 1986. Siapa tau ada hubungannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Sang Pembawa Api di Alun-alun

13 Maret 2020   15:01 Diperbarui: 13 Maret 2020   15:00 1408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kau tahu siapa aku, Mas?”

Aku melirik angkuh dari sudut mataku, biar ia tahu aku tak acuh pada pertanyaannya.

“Kau jangan marah dulu. Malam masih panjang.”

“Aku disini untuk menikmati wayangan, Pak. Melepas stress, bukan menambah.”

Tangan kanannya kini menjulur padaku. Senyumnya mengembang. Memang dasar orang Indonesia, sulit sekali menolak ajakan penuh sopan santun begini. Dengan wajah malas aku ulurkan juga tangan kananku.

“Eko, Pak.” Aku perkenalkan namaku.

“Iblis.” Jabat tangannya sangat erat, tapi aku tak merasakan sakit. Sedikit terasa hangat seperti jagung rebus yang masih beruap. Tak kutemukan raut dusta di wajahnya. Ia yakin sekali memperkenalkan dirinya dengan nama itu. Entah kenapa, senyumnya menular. Tak bisa kutahan bibirku mengembang. Seharusnya kutertawakan leluconnya, tapi aku tak menemukan satupun alasan untuk itu. Jujur dari lubuk hatiku, ada rasa lega saat mendengar namanya.

“Sudah lama jadi Iblis, Pak?” Kuikuti saja permainan ini. Garis batas humor sudah lewat, batas kurang ajar pun bablas. Ini ranahnya obrolan seenak jidat. Percuma dimasukkan dalam hati dan akal, tak masuk sama sekali.

“Dari sebelum jaman kakek moyangmu itu.”

“Dari neraka naik apa kesini, Pak?” Bicara sama orang sableng harus ikut sableng. Tak perlu kudengarkan dagelan yang sedang jumeneng. Disini ada dagelan yang lebih orisinil lagi.

Bapak Iblis tertawa, ada kesenangan tersendiri saat membuat orang gila tertawa. “Neraka adanya di akhirat, Mas Eko. Belum saatnya sekarang.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun