Mohon tunggu...
Icha Tri Hasri
Icha Tri Hasri Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab

Pembaca Sastra

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Al-Karnak, Indonesia, dan Pentingnya Membaca Sastra

7 Juni 2020   01:08 Diperbarui: 7 Juni 2020   22:02 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: http://books4all.org/

Begitu pula Zainab Diyab. Ia dituduh sebagai komunis, karena ia berhubungan dengan Ismail Al-Syekh. Zainab mendapat perlakuan yang tak wajar. Bahkan, ia mengalami pelecehan seksual. 

Dimana para penjaga penjara mengintip dari lubang pintu sel dan sesekali mempertontonkan tubuh mereka tanpa sehelai pakaian pun untuk kesenangan mereka sendiri.

Yang paling mengerikan terjadi pada Hilmi Hamada. Karena pemerintah sangat memerangi mereka yang menganut paham komunisme, sedang Hilmi Hamada ialah seorang komunis, maka ia juga dipenjara dan disiksa, dan dalam keadaan yang digantung kakinya ia meninggal dunia.

Indonesia di dalam Al-Karnak

Apa yang dialami ketiga pemuda ini dalam novel Al-Karnak mengingatkan saya kepada penangkapan aktivis yang berjuang melawan otoriterianisme Orde Baru pada tahun 1998. 

Mereka diculik, disekap, disiksa, meski beberapa dari mereka ada yang kembali, namun masih ada yang hilang tanpa kabar bahkan setelah 22 tahun peristiwa itu berlalu.

Dengan alasan yang sama, yakni memiliki ideologi yang bertentangan ataupun melawan atas ketiakadilan kepada penguasa saat itu, hal yang sama pula terjadi meski di dua negera yang berbeda, bahkan berjauhan. Meski Al-Karnak adalah fiksi, dan penangkapan aktivis ’98 adalah nyata terjadi.

Pun hari ini, perjuangan ideologi tak lagi sehat. Atau hal ini bukan lagi “perjuangan ideologi”, melainkan “pertarungan ideologi”. Media sosial adalah salah satu bukti nyata bahwa untuk memenangkan ideologi yang dianut, mestilah menjelek-jelekkan, menganggap sesat, bahkan menuduh yang tidak benar.

Dari Al-Karnak, sebuah novel yang berlatarbelakang Mesir, kita bisa kembali diingatkan kepada sejarah bangsa kita sendiri. Dari Al-Karnak, sebuah novel, sebuah karya fiksi, yang di lingkungan saya masih dianggap sebagai cerita pengantar tidur, kita bisa menyelami bagaimana sastra bisa mendeskripsikan sebuah realita. Bagaimana kita diceritakan bahwa ada hal yang sama-sama meresahkan bukan hanya terjadi di negara kita, tapi juga di negara lainnya.

Dari manapun sastra itu lahir, mesti ada kesamaan peristiwa yang terjadi. Karena sastra adalah potret perilaku dan keadaan manusia. Universalitas dalam lokalitas, barangkali adalah istilah yang tepat untuk menggambarkan hal ini. 

Hal yang digambarkan terjadi di Mesir, bisa dijumpai di titik mana pun di dunia ini. Termasuk negeri kita sendiri, Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun