Mohon tunggu...
Icha Hadiqah
Icha Hadiqah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengamat kehidupan sekitar

Akan lebih banyak menulis tentang bahan pangan dan marketing

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Sar-ja-na: Nyasar Kerja di Mana?

22 Oktober 2020   01:43 Diperbarui: 22 Oktober 2020   03:22 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di job fair kami sering bertemu dengan situasi di mana kami nggak jadi mendaftar hanya karena nama jurusan kami nggak ada dalam opsi. Jurusan yang tercantum biasanya adalah teknik industri, pertanian, teknologi industri, atau teknologi pangan.

Sudah ketemu dengan lowongan yang mencari atau menyediakan pilihan "Teknologi Industri Pertanian" pun kami juga kadang masih bingung mau apply posisi apa. Bukan bingung karena nggak bisa apa-apa, tapi justru karena merasa bisa masuk di semua bagian tapi nggak ada yang jadi expertise kami. Secara skill, mau masuk bagian research and development bisa, tapi takut kalah saing dengan jurusan TPHP. Mau ke bagian manajemen juga bisa banget, tapi ada jurusan yang jelas-jelas namanya manajemen. Ke bagian HRD pun sebenarnya bisa karena punya basic manajemen SDM, tapi nggak pede dengan pesaing dari jurusan psikologi. Begitulah.

(Kemudian ikut seleksi CPNS)

Akhirnya, nggak sedikit yang lalu "nyebrang" ke bidang yang cukup jauh dari basic keilmuan TIP. Salah satunya dengan memutuskan untuk berwirausaha, termasuk saya.

Kenapa saya tulis kata "nyebrang" dengan tanda kutip? 

Karena sebenarnya "nyebrang" itu hanya anggapan orang awam. Ketika seseorang bekerja di bidang yang jauh berbeda dengan latar belakang pendidikannya—yang gampangnya dilihat dari gelar—maka itulah yang dianggap "nyebrang".

Cukup banyak yang menganggap bahwa berwirausaha itu cukup modal uang banyak, nggak malu jualan, otodidak saja, atau malah bisa dengan modal nekat. Sehingga nggak jarang juga kita dengar ucapan-ucapan semacam "Sekolah tinggi-tinggi akhirnya jualan juga" atau "Sarjana kok jadinya kerjanya di rumah aja". Bahkan dari kalangan pelaku wirausaha sendiri, mungkin juga ada yang menganggap pekerjaannya "nyasar" dari gelar akademisnya.

Kenyataannya, berwirausaha justru memerlukan nyaris semua ilmu yang didapat semasa kuliah. Setidaknya itulah yang saya rasakan setelah terjun di dunia usaha. 

Memang, tidak diperlukan formalitas berupa ijazah dalam merintis usaha. Tidak ada yang mewawancarai kita dan bertanya, "Apa kelebihanmu?" karena kitalah yang harus tahu potensi diri kita dan bagaimana mengoptimalkannya. Tidak akan ada yang menuntut kita untuk disiplin berangkat jam 8 pagi dan pulang jam 4 sore, karena dalam menjalankan usaha kita harus mampu mengatur diri kita sendiri dan membagi waktu dengan baik. Tidak ada yang mempermasalahkan gelar akademis kita, walaupun tidak dipungkiri bahwa adanya gelar tentu dapat menambah nilai jual usaha kita sekaligus meningkatkan personal branding.

Namun faktanya, merintis dan menjalankan usaha tidak dapat dijalankan tanpa ilmu. Saya pun baru benar-benar menyadari dan merasakan hal ini saat sudah mulai menjalankan dan merintis usaha.

Bagi saya, berwirausaha adalah sebuah keputusan, bukan pilihan—apalagi pilihan yang terpaksa dipilih karena sudah gagal dalam hal lain. Meskipun dianggap "nyebrang" atau "nyasar", namun kenyataannya wirausaha adalah profesi yang sangat relevan dengan keilmuan saya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun