Mohon tunggu...
Iccha Lizza
Iccha Lizza Mohon Tunggu... Lainnya - Communication Enthusiast

Blessed Government Public Relations, Dewan Pengurus Pusat Iprahumas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kepanikan Moral di Balik Pemberitaan Transgender

12 Juli 2020   22:14 Diperbarui: 12 Juli 2020   23:16 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belakangan, televisi maupun media sosial marak dengan pemberitaan  transgender yang menuai banyak reaksi di masyarakat.  Transgender adalah individu yang dianggap melanggar norma-norma gender dari budaya dominan dan / atau budaya khusus mereka, dengan cara yang secara signifikan, sehingga mempengaruhi kehidupan sehari-hari mereka dan / atau mempengaruhi pemahaman mereka tentang diri mereka sendiri (Catalano, McCarthy, & Shlasko, 2007). 

Orang sering mengaitkan transgender dengan interseks. Interseks sendiri mengacu pada orang yang dilahirkan dengan tubuh yang tidak mudah diklasifikasikan sebagai pria atau wanita, baik sejak lahir atau sebagai akibat dari perubahan hormon pada masa pubertas atau setelahnya (Catalano, McCarthy, & Shlasko, 2007). Komunitas transgender dan interseks tumpang tindih (yaitu, beberapa orang transgender interseks, dan sebaliknya), tetapi mereka tidak sama.

Pemberitaan tentang artis transgender sejak awal tahun 2018 mewarnai opini yang muncul di masyarakat. Beberapa transgender termasuk ke dalam Male to Female (MTF) yaitu orang yang telah ditetapkan jenis kelamin laki-laki saat lahir, tetapi mengidentifikasi jenis kelamin mereka sebagai perempuan.

Isu transgender baru-baru ini yang kembali menghangat karena kasus artis Lucinta Luna di media massa mencuat dan terus diangkat dan menimbulkan kepanikan moral. 

Panik adalah perasaan takut atau takut yang tiba-tiba dan berlebihan, biasanya memengaruhi sekelompok orang, dan mengarah ke hal yang luar biasa atau tidak bijaksana sebagai upaya untuk mengamankan keselamatan  (Garland, 2008). Cohen (2004) menjelaskan kepanikan moral (moral panic) adalah suatu kondisi, episode, orang atau sekelompok orang yang  muncul sebagai penanda adanya ancaman terhadap nilai dan kepentingan masyarakat; sifatnya disajikan dengan gaya dan stereotip oleh media massa; barikade moral diawaki oleh editor, uskup, politisi, dan orang-orang yang berpikiran benar; ahli yang terakreditasi secara sosial mengumumkan diagnosa dan memberikan solusi sesuai cara pandang mereka. Kondisi itu kemudian menghilang, tenggelam, atau memburuk dan menjadi lebih terlihat. Kadang-kadang objek dari kepanikan ini merupakan hal baru, tetapi bisa juga merupakan sesuatu yang telah ada cukup lama dan muncul kembali  menjadi pusat perhatian. Kadang-kadang, kepanikan melintas dan terlupakan, kecuali jika hal yang menjadikan kepanikan itu ada dalam cerita rakyat dan menjadi ingatan kolektif. Hal itu dapat berdampak lebih serius dan tahan lama, sehingga mungkin menghasilkan perubahan di tatanan kebijakan hukum dan sosial atau bahkan perubahan pada cara masyarakat memahami dirinya sendiri (Garland, 2008). 

Selain itu, kepanikan moral juga dapat diidentifikasi dengan melihat reaksi yang muncul terhadap seseorang, sekelompok orang, atau serangkaian peristiwa di luar proporsi terhadap ancaman yang sebenarnya ditawarkan. Ketika 'ahli', dalam bentuk tokoh aparat polisi, peradilan, politisi dan editor merasakan ancaman di semua istilah yang identik, dan muncul untuk berbicara 'dengan satu suara' tentang tingkat, diagnosis, prognosis dan solusi, ketika representasi media secara universal menekankan peningkatan 'tiba-tiba dan dramatis' (dalam jumlah yang terlibat atau peristiwa) dan 'kebaruan' di atas dan di luar itu yang sadar (Garland, 2008).

Goode dan Ben Yehuda (1994) mengidentifikasi fitur kunci dari fenomena kepanikan moral, yaitu: (i) perhatian (beberapa perilaku atau peristiwa yang dilaporkan memicu kecemasan); (ii) permusuhan (para pelaku digambarkan sebagai musuh rakyat); (iii) konsensus (reaksi sosial negatif luas dan terpadu); (iv) ketidaksesuaian (tingkat perilaku, atau ancaman yang ditimbulkannya, dilebih-lebihkan); (v) volatilitas (pelaporan media dan kepanikan yang terkait muncul tiba-tiba, tetapi dapat menghilang dengan cepat juga). Identifikasi kepanikal moral yang terjadi akibat pemberitaan transgender di berbagai media antara lain televisi dan media sosial adalah:

  • Perhatian (beberapa perilaku atau peristiwa yang dilaporkan memicu kecemasan). Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya reaksi khalayak maupun netizen di media sosial terkait pemberitaan tentang transgender. Selain itu, muncul artikel-artikel parenting tentang bahaya transgender dan bagaimana para orang tua harus bisa menyikapinya (Mora, 2018). Disebutkan pula bahwa berdasarkan data WHO, gay dan transgender berisiko 20 kali lebih besar tertular HIV AIDS (Republika.co.id, n.d.)
  • Permusuhan. Netizen di media sosial merupakan khalayak yang tidak dapat kita kontrol penilaiannya terhadap suatu isu maupun berita yang diunggah oleh suatu akun. Hal itu bisa terlihat dari munculnya bullying di akun instagram yang bersangkutan.
  • Konsensus (reaksi sosial negatif luas dan terpadu). Kasus transgender yang diberitakan di media-media tanah air tidak hanya menuai kecaman dari para ahli, penegak hukum, dan rakyat biasa, akan tetapi, para artis pun angkat suara bahwa transgender tersebut merusak citra musik dangdut, khususnya pada kasus Lucinta Luna (Tribunnews.com, 2018).
  • Ketidaksesuaian (tingkat perilaku, atau ancaman yang ditimbulkannya, dilebih-lebihkan); Beberapa judul artikel seperti LGBT menjadi "ancaman serius moral bangsa", LGBT "patut dipidana", LGBT "ancaman nyata", dan lain sebagainya merupakan contoh dari faktor ketidaksesuaian perilaku terhadap norma yang ada dalam masyarakat sehingga ancaman yang ditimbulkanterkesan dilebih-lebihkan.
  • Volatilitas (pelaporan media dan kepanikan yang terkait muncul tiba-tiba, tetapi dapat menghilang dengan cepat juga). Sebelumnya, isu tentang transgender sudah marak diperbincangkan di Indonesia sejak artis cilik laki-laki Reynaldi kini setelah dewasa berubah menjadi perempuan dengan nama Dena Rahman. Sosok Dorce juga menjadi pembicaraan di akhir tahun 80-an dan awal tahun 90-an karena ia memilih melakukan operasi kelamin dan mengubah identitas dari laki-laki menjadi perempuan (Tribunnews.com, 2018). Pernah menjadi topik panas pada jamannya, kemudian saat ini isu tersebut kembali muncul setelah beberapa waktu mereda karena adanya kemunculan para transgender di media massa.

Kepanikan moral erat kaitannya dengan kegiatan masyarakat sebagai pengawas. Kini bermunculan komunitas-komunitas anti-LGBT sebagai aksi dari maraknya LGBT di Indonesia. Studi media tentang kepanikan moral menekankan konsekuensi sosial dan hukum dari keterpaparan publik yang meluas (melalui media) terhadap kejahatan, kekerasan dan penyakit masyarakat, etika atau medis lainnya. Kepanikan moral memberi beberapa indikasi tentang sikap sosial pada zaman tertentu - walaupun dengan kualifikasi kritis. Kepanikan dapat kita lihat di sini tidak selalu benar-benar menyebar luas atau dilaporkan secara akurat oleh media.

Kepanikan moral terjadi akibat paparan media tentang suatu isu secara terus menerus dalam hal ini adalah kasus transgender atau LGBT di Indonesia. Reaksi yang ditimbulkan bermacam-macam karena setiap kalangan memiliki caranya masing-masing dalam menangani permasalahan tersebut.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun