Mohon tunggu...
Ibrohim Abdul Halim
Ibrohim Abdul Halim Mohon Tunggu... Konsultan - Mengamati Kebijakan Publik

personal blog: ibrohimhalim.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilkada Saat Corona, Keuntungan Petahana

15 Juni 2020   08:04 Diperbarui: 15 Juni 2020   08:19 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pilada 2020. Sumber: Detik

Mulai hari ini (15/6/2020), tahapan Pilkada 2020 resmi kembali berlanjut. Hal ini menindaklanjuti Perppu 2/2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota di masa Pandemi. Substansi pentingnya adalah Pilkada akan tetap dilaksanakan pada tahun 2020 untuk 270 daerah.

Tentu saja mengerikan membayangkan Pilkada di tengah Korona. Pasalnya, pesta demokrasi ini pasti mengumpulkan orang banyak, sejak proses kampanye hingga pemungutan suara. Belum lagi, jika ada gonjang-ganjing sehingga memicu gelombang protes dan demonstrasi massa. Pemerintah juga perlu menyiapkan anggaran tambahan untuk persiapan protokol kesehatan pilkada.

Namun, menunda Pilkada juga bukan hal yang tepat, setidaknya karena dua hal. Pertama, tidak bisa dipastikan kapan vaksin korona akan ditemukan, mengingat tahapannya membutuhkan waktu yang panjang. Kedua, jika Pilkada diundur sementara Kepala Daerah sudah lengser, maka akan ada kekosongan kepemimpinan. Pengisian jabatan oleh Plt tentu akan lemah secara legitimasi maupun eksekusi.

Memang ada plus-minus, tapi KPU, berlandaskan Perppu di atas, telah memutuskan bahwa Pilkada tetap diselenggarakan tanggal 9 Desember 2020. Dalam kondisi ini, Petahana bisa bernafas lega.

Di tengah Korona, Petahana punya sumber daya untuk mendekati warga, khusunya melalui instrumen bantuan sosial. Menghadapi pilkada, Petahana bisa memperbanyak alokasi bansos sekaligus merajinkan diri untuk hadir dalam penyalurannya. Apalagi jika bansosnya dikasih embel-embel "Bantuan Bupati/Walikota".

Sebagai Ketua Gugus Tugas Daerah, Petahana juga bisa memanfaatkannya untuk melakukan sidak sambil menyapa warga. Dengan bantuan kamera, Petahana bisa membangun citra "hadir membantu warga yang kesulitan karena Korona".

Di sisi lain, penantang tentu akan kesulitan. Selain kalah sumber daya, penantang juga tidak bisa mengumpulkan massa. Otomatis kampanye yang bisa dilakukan adalah direct selling dan kampanye media sosial. Direct selling sangat membutuhkan basis yang kuat, sementara kampanye media sosial belum terbukti efektif menarik pemilih.

Selain itu, Pilkada di tengah Korona mungkin akan menurunkan tingkat partisipasi pemilih. Mereka yang sudah memiliki pilihan (kemungkinan besar massa Petahana) pasti rela bersusah-susah dan menanggung risiko datang ke TPS. Namun para swing voters bisa jadi tetap tinggal di rumah. Padahal suara swing voters inilah yang dibutuhkan penantang untuk mengalahkan Petahana.

Sekalipun misalnya penantang bisa menang di tahap rekapitulasi awal, proses penjegalan di tahap rekapitulasi berjenjang sangat mungkin terjadi. Ini karena Penyelenggara Pemilu kemungkinan akan membatasi petugas dan saksi yang bisa hadir dalam rekapitulasi. Dengan fasilitas jabatan, Petahana masih bisa masuk di proses ini.

Oleh karena itu, menurut penulis, kekhawatiran terbesar diselenggarakannya Pilkada saat Korona bukanlah soal kesehatan, karena hal itu relatif bisa diatasi dengan protokol memadai. Namun, kita khawatir tidak mendapatkan Pilkada yang berkualitas. Bukan tidak mungkin, menghadapi fakta di atas, banyak penantang terpaksa mundur gelanggang sebelum berperang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun