Mohon tunggu...
Ibrohim Abdul Halim
Ibrohim Abdul Halim Mohon Tunggu... Konsultan - Mengamati Kebijakan Publik

personal blog: ibrohimhalim.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Problematika Antara Bansos dan Data

15 Mei 2020   04:41 Diperbarui: 15 Mei 2020   04:51 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bantuan sosial (disingkat bansos) memiliki beragam permasalahan, mulai dari bentuknya yang tidak sesuai preferensi masyarakat, pejabat yang menungganginya untuk pencitraan, dan nilainya yang seringkali dikorupsi di tengah jalan. Namun ada satu masalah yang lebih fundamental, tak lekang oleh zaman, yakni data penerima. Ibarat perkawinan tak bahagia, bansos dan data lebih sering tak sekamar.

Secara umum, ada dua masalah yang ditimbulkan dari tidak sinkronnya data, yakni inclusion error dan exclusion error. Yang pertama disebut adalah masuknya orang yang tidak layak menerima ke dalam data, dan yang disebut belakangan adalah tidak masuknya orang yang layak menerima ke dalam data. Exclusion error memang sulit dihilangkan karena orang miskin seringkali jauh dari jangkauan pejabat daerah. Tapi inclusion error adalah satu masalah serius karena bisa menimbulkan konflik sosial di masyarakat.

Dalam satu pertemuan terbatas dengan Pusdatin Kemensos, saya pernah menanyakan apakah Kemensos punya data mengenai berapa persentase (minimal) inclusion error untuk tiap penyaluran bansos, jawabannya ternyata tidak. Lalu apakah Kemensos punya target inclusion error nol persen pada tahun tertentu, jawabannya juga tidak. Artinya, kita akan selalu memiliki masalah dengan data penerima bansos.

Di Indonesia, data yang dimaksud adalah data yang dimiliki Kemensos, disebut sebagai Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Dulunya, pengelolaan data dipegang oleh BPS melalui Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) tahun 2005, dilanjutkan melalui Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2008 , dan tahun 2011 dilakukan kembali PPLS yang kemudian diserahkan kepada TNP2K untuk dijadikan Basis Data Terpadu. BDT pada akhirnya diserahkan kepada Pusdatin Kemensos pada 2015/2016, dan pada tahun 2019 setelah melalui berbagai penyempurnaan, nomenklaturnya berubah menjadi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial.

DTKS pada dasarnya adalah sistem yang bagus dan terus disempurnakan oleh Kemensos. Data ini mencakup 40% rakyat berstatus ekonomi paling bawah, terdiri dari 29 juta Keluarga berisi sekitar 97 juta jiwa, termasuk di dalamnya Komunitas Adat Terpencil. Ia menjadi basis data untuk berbagai program bantuan, seperti Program Sembako, Program Keluarga Harapan, Program Indonesia Pintar, dan Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN. Artinya, warga harus terdata di DTKS jika ingin mendapatkan bantuan. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara seseorang masuk ke DTKS, dan bagaimana cara keluarnya?

Dan di sinilah akar masalahnya. DTKS hanya membuka satu pintu masuk, yakni melalui mekanisme bottom-up mulai dari RT/RW hingga sampai ke dinsos kota/kab. Masalahnya, pertarungan di bawah tidaklah ideal. Terlalu banyak kasus di mana Kepala Desa memasukkan kerabatnya dalam usulan pemutakhiran DTKS. Kondisi ideal yang diinginkan Kemensos di mana orang miskin secara aktif mendaftarkan diri kepada pengurus RT/RW juga sulit terjadi karena psikologis orang miskin yang cenderung menutup diri. Memang pada akhirnya ada proses verifikasi dan validasi (verivali), tapi sejak awal pintu itu sudah tertutup bagi banyak orang yang betul-betul miskin.

Proses verivali juga bermasalah karena Kemensos mengandalkan Pemda untuk melakukan mekanisme tersebut, padahal Pemda berada di bawah koordinasi Kemendagri. Yang terjadi di lapangan: Kemensos tidak punya kekuatan, dan kebanyakan Pemda hanya mengesahkan yang ada atau bergantung mood politik pejabatnya. Hasil Pemeriksaan BPK RI 2018 menemukan bahwa hanya 29 dari 514 kab/kota yang tertib melakukan pembaharuan DTKS.

Bukan hanya di pintu masuk yang bermasalah, pintu keluar justru lebih bermasalah. Idealnya orang yang sudah tidak miskin atau meninggal dilaporkan oleh pejabat lokal untuk dikeluarkan dari DTKS. Tapi, siapa yang mau keluar dari DTKS? Karena jika keluar dari DTKS maka tidak mendapatkan bansos dan mungkin sulit untuk masuk lagi. Akhirnya, penghuni lama enggan keluar, penghuni baru sulit masuk. Seumpama sungai, ia akan jernih jika airnya mengalir, tapi kotor jika alirannya berhenti.

Itu jika bansosnya menggunakan DTKS. Dalam kondisi tertentu seperti pandemi Covid-19 ini, bansos yang diberikan tidak sepenuhnya menggunakan DTKS, tapi digabung dengan data dari Pemda. Masalahnya, karena selama ini datanya terpusat, kebanyakan Pemda tidak memiliki data yang memadai. Dikejar waktu, Pemda menyiapkan data yang lemah verifikasinya, sehingga wajar jika ada orang tidak layak tapi menerima, dan layak tapi tidak menerima.

Pada akhirnya, di zaman digital yang serba terbuka, kita menyaksikan data bisa didapatkan dan disebarkan begitu mudahnya. Jangankan pihak berwenang, sindikat SMS penipuan pun bisa memanfaatkannya dengan maksimal. Tapi data orang miskin, mungkin akan selalu centang-perenang. Bisa jadi karena mereka bukan kepentingan utama bagi yang sedang berkuasa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun