Mohon tunggu...
ibrahim ali
ibrahim ali Mohon Tunggu... Penulis Buku, Motivator dan Pemerhati Desa

Hobi membaca dan jogging

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bank Dunia: Gagal Menghapus Kemiskinan Desa

18 Juni 2025   15:18 Diperbarui: 18 Juni 2025   13:15 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu pagi di pedalaman Sumba, NTT, seorang ibu berjalan lebih dari tiga kilometer hanya untuk menimba air dari mata air kecil yang mulai mengering. Di tempat lain, seorang ayah di pelosok Sumbawa menggantungkan hidupnya dari menjual hasil panen jagung yang tak seberapa. Mereka tidak muncul dalam berita utama, apalagi masuk dalam daftar penerima bantuan sosial nasional. Namun bagi dunia, mereka adalah bagian dari hampir 195 juta penduduk Indonesia yang kini dikategorikan miskin menurut standar Bank Dunia terbaru.

Ini bukan hanya soal angka. Ini soal wajah kemiskinan yang tetap hidup dan tumbuh di desa. Sementara pemerintah menyebut kemiskinan sudah ditekan hingga angka 8,6 persen versi BPS, Bank Dunia menyatakan lebih dari 68 persen penduduk Indonesia masuk kategori miskin ketika standar global digunakan. Ada kesenjangan besar antara statistik dan realitas. Dan desa kembali menjadi titik rawan dari ketimpangan itu.

Standar Tidak Menyentuh Realita

Perubahan garis kemiskinan global yang dilakukan Bank Dunia dari USD 6,85 menjadi USD 8,30 (PPP 2021) secara langsung menaikkan jumlah penduduk miskin di Indonesia. Jika sebelumnya kita merasa telah berhasil mengurangi kemiskinan, standar baru ini menunjukkan bahwa sesungguhnya masih banyak warga kita yang hidup di bawah kebutuhan dasar minimum secara global.

Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan garis kemiskinan berbasis konsumsi lokal yang disesuaikan dengan harga-harga kebutuhan pokok dan standar hidup minimum di tiap wilayah. Tetapi pembaruan terhadap komponen kebutuhan dasar ini terakhir dilakukan pada 1998 lebih dari dua dekade lalu. Di tengah lonjakan harga bahan pokok, biaya pendidikan, dan inflasi kebutuhan hidup, angka Rp 595.242 per bulan sebagai garis kemiskinan nasional tampak tidak lagi mencerminkan realitas.

Ini bukan hanya soal perbedaan metode. Ini soal kepekaan terhadap konteks. Ketika garis kemiskinan nasional terlalu rendah, banyak warga yang sebenarnya miskin terutama di desa tidak terdeteksi. Mereka hidup pas-pasan, namun tidak masuk kategori penerima bantuan. Di sinilah sesungguhnya kita mulai melihat kegagalan kebijakan: menghapus kemiskinan tanpa benar-benar melihatnya.

Lahan Subur untuk Kemiskinan Struktural

Di banyak tempat, desa menjadi wajah asli Indonesia: alami, tenang, tetapi juga penuh luka tersembunyi. Ketimpangan pembangunan antara desa dan kota sudah terjadi sejak lama. Desa masih kesulitan akses terhadap layanan dasar seperti air bersih, listrik stabil, sinyal internet, hingga layanan kesehatan memadai.

Lihat saja bagaimana program Dana Desa yang bergulir sejak 2015 belum sepenuhnya menjawab akar persoalan kemiskinan struktural. Banyak desa masih memanfaatkan dana tersebut untuk pembangunan fisik, bukan pemberdayaan ekonomi. Kelembagaan desa lemah, sumber daya manusia terbatas, dan kurangnya inovasi menyebabkan program-program antikemiskinan berjalan setengah hati.

Lebih dari itu, sebagian besar desa menggantungkan hidup dari sektor pertanian subsisten. Di saat harga pupuk naik dan akses pasar sempit, petani desa makin terjepit. Belum lagi risiko bencana, perubahan iklim, hingga penguasaan lahan oleh korporasi besar. Di tengah tekanan ini, mereka hidup ‘cukup’ hanya secara statistik, tetapi ‘tidak layak’ secara kualitas hidup.

Menghapus Kemiskinan Bukan Sekadar Statistik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun