Mohon tunggu...
ibs
ibs Mohon Tunggu... Editor - ibs

Jika non-A maka A, maka A

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Pram yang Enggan Memaafkan Orde Baru

19 Agustus 2019   13:10 Diperbarui: 4 Mei 2021   13:18 3320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pramoedya Ananta Toer dituduh sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Benarkah? Sumber gambar Pinterest/Hilmi Musyaffa

Dirinya dipenjara bertahun-tahun di masa Orde Baru (Orba). Tulisannya diberangus, hidupnya penuh teror hingga karakternya dibunuh: dirinya diasingkan ke Pulau Buru, Maluku, dan menjadi tahanan politik (tapol) tanpa proses pengadilan.

"Hak saya sebagai pengarang selama 43 tahun dirampas habis. Saya menghabiskan hampir separuh usia saya di Pulau Buru dengan siksaan, penghinaan, dan penganiayaan," katanya.

Meski begitu, bertahun-tahun menjadi tapol, tidak membuat Pram berhenti berkarya. Ia terus mengukir tulisan-tulisannya. Di dalam jeruji besi, bahkan, tulisan pria asal Blora, Jawa Tengah, ini semakin menjadi-jadi.

Salah satu karya paling tersohor Pram adalah Tetralogi Pulau Buru, cerita tentang kehidupan Minke, putra seorang bupati yang memperoleh pendidikan Belanda pada masa pergantian abad ke-19 ke abad ke-20.

Latar utama tetralogi ini terjadi pada masa awal abad ke-20, tepatnya tahun 1900 ketika tokoh utamanya Raden Mas Minke lahir.

Nama Minke sendiri adalah nama samaran dari seorang tokoh pers generasi awal Indonesia yakni Raden Tirto Adhi Soerjo.

Cerita novel ini sebenarnya memiliki unsur sejarah, termasuk biografi RTAS tersebut yang juga nenek moyang penulis.

Sementara cerita lainnya diambil dari berbagai rekaman peristiwa yang terjadi pada lingkup waktu tersebut, di antaranya rekaman pengadilan pertama pribumi Indonesia (Nyai Ontosoroh) melawan keluarga suaminya seorang warga Belanda totok di Surabaya.

Karya Pram begitu laris manis di pasaran. Dalam kurun waktu singkat, atau kurang lebih enam bulan sejak penerbitan pertamanya, buku ini sudah kali cetak ulang.

Akan tetapi, masterpiece a la Pram ini justru membuat penguasa pada saat itu sulit tidur nyenyak--dan merasa kecolongan.

Negara melalui perangkat-perangkatnya pun membuat kebijakan agar buku-buku Pram ditarik dari peredaran. Selain melarang peredaran, bagi siapa saja yang membaca buku ini dipastikan berujung bui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun