Mohon tunggu...
Ibnu Aghniya
Ibnu Aghniya Mohon Tunggu... Sejarawan - Penikmat Sejarah

Mahasiswa S-1 Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro Pendiri Komunitas Suluh Sejarah (pengkajian dan penulisan sejarah)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Panduan Revolusi dari Pelarian

6 Mei 2019   03:35 Diperbarui: 6 Mei 2019   04:27 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Terhitung sudah 3 tahun anak muda itu meninggalkan tanah airnya dan berkelana di negeri-negeri asing untuk memanggul idealismenya. Tercatat, Negeri Belanda, Soviet Uni, Filipina, Hongkong, dan beberapa negara lain sudah dikunjunginya.

Dalam pelariannya di Kanton, anak muda itu meluncurkan semacam buku manual bagi kalangan pergerakan di negerinya. Ya, Datuk Ibrahim Tan Malaka, tokoh muda komunis Hindia yang diusir pada 1922 oleh pemerintah kolonial, menerbitkan karya monumentalnya berjudul Naar De Republiek Indonesia di tahun 1925 dari tanah pelarian.

Unik sekaligus sarat perjuangan bila buku ini dikisahkan ulang, baik isi maupun cerita-cerita dibalik penyusunannya. Berkat bantuan kawan-kawan Tionghoanya, buku ini hadir meski banyak kekurangan disana-sini, seperti misalnya kekurangan huruf Latin saat proses percetakan. Belum lagi kisah bagaimana cara orang-orang menyelundupkan benda terlarang ini masuk ke Hindia. Singkatnya, karya ini sudah unik sedari awal.

Tambahan pula, bahwa Naar De Republiek Indonesia merupakan buku pertama yang memuat konsep Republik Indonesia secara gamblang. Disaat rekan-rekan perjuangan di negerinya masih sibuk berdebat tentang bagaimana cara yang mesti ditempuh guna meraih kemerdekaan (non-kooperasi vs kooperasi), Tan selangkah lebih maju mampu menjabarkan bagaimana Indonesia yang ideal pasca merdeka.

Mengawali pembahasan dalam bukunya itu, Tan mengulas keadaan politik dunia pasca berakhirnya Perang Dunia I, bagaimana konstelasi politik antar-negara kapitalis dan imperialis, serta memberi analisis tentang kemungkinan pecahnya Perang Pasifik antara fasisme Jepang dengan Barat.

Sesudahnya, giliran keadaan dalam negeri yang ia ulas secara mendalam. Meskipun ia sendiri ada di luar negeri, tak mengurangi daya analisisnya dalam buku itu, sebab ia terus mengikuti perkembangan politik dalam negeri Hindia. Dikatakan bahwa konsesi politik apapun yang diberikan imperialis Belanda, seperti memberi tambahan kursi bagi inlander dalam Volksraad, tak akan mengurangi tekad rakyat menentukan nasib sendiri.

Di bagian inti brosurnya itu, sebagai seorang penganut komunisme, Tan menjabarkan apa-apa saja tujuan dari pergerakan yang dilancarkan PKI dalam usaha merebut kemerdekaan. Ia mengulang sedikit teori klasik Komunisme ciptaan Marx dalam bukunya itu, kemudian mengatakan bahwa tujuan PKI tak lain dari tujuan partai komunis di belahan dunia lain, yakni menghempaskan sistem kapitalisme dan merintis jalan menuju masyarakat komunis. Selanjutnya, Tan mendaftar program-program yang bakal direalisasikan PKI kala kemerdekaan dapat direbut. Program itu mencakup bidang ekonomi, sosial, pendidikan, dan lain-lain.

Tak berhenti sampai pada gambaran "seperti apa" Indonesia yang ideal, Tan juga menyuguhkan resep "bagaimana caranya". Bagi Tan, strategi kearah sana dapat dicapai tak lain hanya dengan strategi non-kooperasi. Cara itu dapat segera terwujud jika kaum pergerakan sewaktu-waktu dapat memberikan "pukulan strategis" pada kekuatan kolonial yang bercokol. Tan mengungkapkan bahwa dalam mengalahkan musuh, harus memukul 3 titik vital sekaligus.

Pusat politik, ekonomi/industri, dan militer, harus mampu direbut. Dan di Hindia, ketiga titik vital itu tidak terpusat di satu kota, melainkan terpencar-pencar. "....kekuatan imperialis Belanda (militer, politik dan ekonomi) tidak terpusat pada satu tempat. Kekuatan militer dipusatkan di Priangan. Kekuatan politik yang sekarang berpusat di Batavia, kemudian mungkin dipindahkan ke Priangan.

Akan tetapi Batavia, maupun Priangan sesungguhnya tidak mempunyai pusat ekonomi. Kita mendapatkan itu terutama di lembah Bengawan Solo (Yogya, Solo, Madiun, Kediri, dan Surabaya) dimana terletak bertimbun-timbun industri-industri, perusahaan-perusahaan, badan-badan angkutan lalu lintas dan bank-bank", Tan menganalisis. Maka kalangan pergerakan benar-benar harus mampu jeli memanfaatkan tiap kesempatan yang ada.

Meski demikian, uraian yang sudah dipaparkannya itu tak akan berarti banyak menurut Tan, bilamana tak ada kerjasama antara proletar dengan kaum non-proletar. Ia mengingatkan pentingnya kerjasama ini, dan mengingatkan "hukum sejarah" bagaimana negeri-negeri yang baru menghirup udara kemerdekaan harus kembali diinjak akibat politik devide et impera ala imperialis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun