Mohon tunggu...
iben nuriska
iben nuriska Mohon Tunggu... Wiraswasta - Direktur PT. Ihwal Media Utama

Pimred www.ihwalmedia.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sumber Kehidupan

9 Juni 2016   02:53 Diperbarui: 9 Juni 2016   02:55 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sumber Kehidupan

Saat syuting di Desa Koto Masjid, Kampung Patin, XIII Koto Kampar, narasumber kami menunjuk ke satu-satunya bukit yang masih menyisakan harapan. Berkali-kali bukit itu menjadi sasaran illegal loging. Tetapi, berkat penjagaan seorang tentara aktif yang selalu menggagalkan upaya penggundulan bukit itu, hutan alami yang menjadi sumber utama mata air bagi petani tambak patin dan masyarakat XIII Koto Kampar tetap berdiri hijau dan perkasa.

Menjaga hutan berarti menjaga sumber air, berarti juga menjaga sumber kehidupan. Pernyataan itu sudah umum kita dengar. Tidak perlu sekolah tinggi dengan gelar mentereng di belakang nama serta pangkat dan jabatan yang tinggi untuk mampu mengucapkannya. Tetapi dibutuhkan kesadaran diri untuk dapat memahami dan menaatinya.

Para penggundul hutan, baik yang illegal maupun sekelompok manusia pemilik surat sakti dari Negara untuk mempreteli jutaan hektar kayu di hutan tidak berbeda dengan petani tambak patin tersebut. Kedua pekerjaan ini bertujuan untuk menghidupi diri dan keluarga, jika kita lihat dari sisi pemenuhan kebutuhan manusia. Kedua pekerjaan ini, bila dilakukan secara wajar demi pemenuhan kebutuhan secara wajar pula, akan memanfaatkan sumber daya alam secara wajar juga. Namun, apa pun pekerjaannnya, bila dilakukan untuk pemenuhan hasrat dan nafsu yang berlebihan akan menimbulkan kehancuran.

Kembali pada masalah hutan sebagai sumber air dan sumber kehidupan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Tengku Ariful Amri dari Badan Kajian Rona Lingkungan Unri, suhu di Riau mengalami peningkatan sebesar dua derajat Celcius serta kehilangan 135 ribu hektar lahan setiap tahunnya akibat aktifitas ekonomi. Penelitian yang dilakukan pada tahun 2010 tersebut menunjukkan betapa parahnya kerusakan yang terjadi di Riau menyangkut pemenuhan kebutuhan (dan kerakusan) manusia. Tingkat kerusakan saat ini pasti lebih parah bila fakta terkait kebakaran hutan dan lahan di Riau tahun 2015 yang lalu diungkap. Dampak dari rusaknya habitat alami di Riau ini dapat kita lihat dari seringnya masyarakat mengeluhkan kekeringan yang belum pernah dialami pada dua dekade sebelumnya.

Pada dua dekade sebelum masyarakat di Riau berlomba-lomba memasang pendingin ruangan di rumah masing-masing yang menyebabkan terjadinya efek rumah kaca sehingga menimbulkan pemanasan global, Jakarta menjadi buldoser raksasa menggunduli hutan dan mengonversinya menjadi hutan industri. Jutaan hektar hutan yang menjaga ketersediaan sumber air berganti dengan milyaran pohon kelapa sawit yang rakus mengisap air tanah. Hutan-hutan alami yang berganti menjadi hutan kelapa sawit itu menjadi primadona. Bahkan, dalam banyak kali obrolan yang saya dengar di masih kecil dulu, betapa orang-orang di Riau bangga menceritakan bahwa ribuan hektar kebun kelapa sawit itu miliknya Mbak Tutut – entah obrolan itu benar atau sangkaan belaka.

Dan kini kebanggaan itu mengundang petaka. Kebiasaan hidup masyarakat mengolah tanah sebatas kemampuan dan kewajaran demi pemenuhan kebutuhan ala kadarnya telah bergeser menjadi sikap dan cara hidup yang berlebihan. Tidak hanya para petani yang melakukan ekspansi usaha dengan jalan membuka hutan dan lahan, bahkan para pekerja kerah putih dan pekerja berseragam di belakang meja berlomba-lomba memiliki seluas-luasnya lahan sebagai investasi masa depan. Kapitalis-kapitalis baru bermunculan menjadi orang kaya-orang kaya baru. Mereka cukup menyetor dana kepada pemegang surat sakti HPH dan lain sebagainya untuk memiliki puluhan hingga ratusan hektar kebun kelapa sawit atas satu nama. Mereka tidak perlu berpanas-panas membersihkan lahan, menanami bibit, memupuk dan memanen kebunnya masing-masing. Cukup dengan mengupah sekadar cukup makan kepada tenaga upahan, mereka akan memetik puluhan juta rupiah setiap bulannya.

Puluhan juta rupiah sebagai investasi dan tabungan yang akan diwariskan kepada anak cucu tersebut harus dibayar mahal. Setiap hari masyarakat di Riau harus bertahan dalam suhu yang ekstrim, siang dan malam. Juga wabah kekeringan yang semakin nyata mengancam.

Keadaan inilah yang hendak disampaikan narasumber kami tersebut. Bukit yang ia tunjuk pada siang yang membakar saat kami syuting tersebut merupakan satu-satunya bukit yang masih terjaga keasriannya. Sehingga kebutuhan air yang dibutuhkan petani tambak patin juga masyarakat Koto Masjid masih terjaga. Namun ia khawatir, bila tentara aktif yang masih punya kesadaran akan pentingnya hutan bagi kehidupan itu sudah tidak mampu lagi mencegah kebiadaban rakusnya para penggundul hutan itu. Dari mana mereka akan mendapatkan sumber air?

Maka timbul pertanyaan dalam benak saya, siapa yang harus bertanggung jawab untuk menjadikan Riau kembali asri atau setidaknya menjaga hutan-hutan yang masih setia berdiri menopang kebutuhan sumber air dan menjadi payung teduh bagi masyarakat di Riau?

Sepertinya kita tidak layak memercayakan ini kepada pemerintah. Atas nama pembangunan, atas nama kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, kapan mau mereka bisa kembali menjadi buldoser. Karena jutaan hektar hutan yang telah berganti menjadi perkebunan kelapa sawit itu dimulai atas nama penguasa – di masa orde baru dan sesudahnya – dan hanya memakmurkan dan menyejahterakan segelintir orang saja, sedang dampaknya melanda seluruh umat manusia dan segala sektor kehidupan di Riau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun