"Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden."Â
Pasal 4 dalam Konstitusi Indonesia secara yuridis konstitusional sudah memberikan penegasan bahwa negara ini menganut sistem presidensial, dimana Presiden menjadi pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi yang pada prinsipnya dapat membentuk pemerintahan, menyusun kabinet, mengangkat dan memberhentikan para pejabat pejabat publik, termasuk kewenangan lainnya yang diatur dalam Konstitusi Indonesia.
Tidak hanya itu, dalam hal penyusunan undang-undang pun, Presiden memiliki kewenangan yang lebih luas dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Presiden terlibat dalam seluruh proses pembentukan undang-undang mulai dari tahap perencanaan hingga pengesahan RUU, bahkan adanya ketentuan dalam Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 telah menjadikan Presiden dapat mengontrol agenda legislasi.
Secara eksplisit, memang kekuasaan legislatif berada dalam tangan Dewan Perwakilan Rakyat, sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat (1) yang berbunyi "Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang." Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pembuatan undang-undang tidak benar-benar berada ditangan DPR, karena dalam setiap proses pembuatan undang-undang tersebut harus melibatkan peran Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Jadi, meskipun secara eksplisit disebutkan kekuasaan legislatif di tangan DPR, namun kekuasaan tersebut justru bersifat semu karena tidak akan berarti tanpa keterlibatan Presiden.Â
Dari pernyataan di atas maka muncul, apakah konsep bernegara yang saat ini kita gunakan sudah berdasarkan sistem pemerintahan presidensial? Apakah lembaga-lembaga negara tersebut sudah menjalankan check and balances? atau justru adanya perambahan kewenangan antar lembaga negara?
Baru-baru, ramai isu yang berasal dari Senayan menjadi perbincangan mulai dari pakar, teknokrat, sivitas akademik, pengamat, hingga masyarakat luas. Adapun isu yang dimaksud adalah terkait revisi peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR dalam rapat paripurna ke-12 masa persidangan II tahun sidang 2024-2025. Dalam revisi itu, terdapat penambahan pasal 228A yang memungkinkan DPR mengevaluasi pejabat negara yang ditetapkan oleh DPR melalui rapat paripurna.Â
Hasil revisi tersebut, membuka ruang bagi DPR untuk mengevaluasi secara berkala pejabat negara yang telah dipilih dengan rekomendasi pemberhentian. Tidak menutup kemungkinan para pejabat negara yang dipilih dari hasil uji kelayakan dan kepatutan (Fit and Proper Test) seperti Hakim MK, Komisioner KPK, dan lain sebagainya dicopot dari jabatannya jika dalam evaluasi dinyatakan tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik.Â
Adapun bunyi rancangan pasal 228A adalah, "Ayat (1) Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud pasal 227 ayat (2) DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Ayat (2) Hasil evaluasi yang sebagaimana dimaksud ayat (1) bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme yang berlaku."
Kalau merujuk pada pasal 7 dan pasal 8 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat (Peraturan DPR) adalah salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.Â
Frasa 'diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan,' menjadi batu uji terhadap revisi peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR yang ramai dibahas. Apakah substansi dalam pasal 228A tersebut merupakan perintah dari undang-undang atau hanya sekadar dijustifikasi dengan kepentingan yang dianggap mendesak oleh DPR?