Mohon tunggu...
I Ketut Aditya Prayoga
I Ketut Aditya Prayoga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi Pariwisata Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Tulisan saya ini tidak akan jauh dari penugasan kuliah yang sangat membantu kemampuan critical thinking saya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Self-Labeling: Sisi Pragmatis dan Apatis Sertifikasi Ekowisata Indonesia Dulu, Kini, dan Nanti

4 Desember 2022   22:31 Diperbarui: 4 Desember 2022   22:46 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sertifikat Desa Ekowisata Pancoh terkait Regulasi Ekowisata (Sumber: Dokumentasi Sefila Nesya Dewanti)

Perkembangan pariwisata Indonesia memang tak bisa dipungkiri telah menunjukkan tren yang positif. Hal tersebut ditunjukkan dengan naiknya peringkat Indonesia dalam The Travel & Tourism Development Index 2021 yang pada tahun 2019 Indonesia berada di peringkat 40, sementara pada pemeringkatan di tahun 2021 Indonesia menduduki peringkat 32 dunia. 

Terbilang terdapat 112 indikator yang menjadi tolak ukur pemeringkatan ini dan salah satunya berkaitan dengan keberlanjutan lingkungan. Walaupun sangat disayangkan, indikator ini sempat menduduki indikator dengan peringkat terendah Indonesia di tahun 2019 yakni peringkat 135 dari 140 negara. Padahal, jika dikaitkan dengan kegiatan pariwisata yang selama ini berkembang di Indonesia, ekowisata sangat banyak diaplikasikan sebagai label wisata yang digunakan. Tentunya hal ini menjadi data dan fakta yang saling berbanding terbalik antar dua fenomena tersebut.

Ekowisata sebagai perjalanan bertanggung jawab menuju area natural yang mengkonservasi lingkungan, mendorong keberlanjutan kesejahteraan masyarakat lokal dengan membangun pemahaman melalui interpretasi dan pendidikan, baik bagi pengelola maupun wisatawan yang dapat dijadikan alat untuk mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan. Namun, ekowisata sebagai alat tersebut tentu dikatakan berhasil jika dan hanya jika dapat dilaksanakan sesuai dengan standar yang menjadi tolak ukur.

Indonesia Sustainable Tourism Certification (Sumber: ISTC Certification Overview)
Indonesia Sustainable Tourism Certification (Sumber: ISTC Certification Overview)

Maka dari itu, untuk mengetahui standarisasi ekowisata telah berhasil dilakukan, terdapat pihak-pihak yang melakukan akreditasi dan sertifikasi. Sayangnya sejauh ini belum ada pihak yang secara khusus menangani sertifikasi ekowisata di Indonesia secara keseluruhan, yang ada hanya sertifikasi pemandu ekowisata yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Pariwisata Jana Dharma Indonesia (LSPP JDI). Sertifikasi sejenis yang dimiliki Indonesia baru Indonesia Sustainable Tourism Certification (ISTC) keluaran Kementerian Pariwisata Republik Indonesia tahun 2019.

Lalu bagaimana destinasi wisata yang ada di Indonesia melabeli destinasinya sebagai jenis ekowisata. Variabel serta indikator apa saja yang bisa membuat destinasi-destinasi tersebut dapat diyakini sebagai ekowisata terutama dalam pelaksanaannya?

Hal tersebut tentu menjadi sebuah pertanyaan besar bagi kita bersama. Bagaimana tidak, di lapangan banyak sekali destinasi wisata yang melabeli destinasinya sebagai ekowisata tanpa ada dasar yang kuat terutama dalam proses sertifikasi. Hal ini tak lepas juga akibat belum adanya lembaga baik dari pemerintah maupun swasta yang berfokus menjalankan sertifikasi ekowisata. Pentingnya implementasi sertifikasi ini mencakup pada penerapan ecocertification, baik terhadap produk wisata, tata kelola, pengelola, dan perilaku wisatawan. Kompleksnya sertifikasi tersebutlah yang membuat destinasi wisata melakukan self-labeling yang diartikan sebagai penjulukan pada diri sendiri (Ahmadi & Nuraini, 2005). Walaupun begitu, self-labeling ekowisata di Indonesia masih menjadi diskusi kita bersama karena jika ditelusuri lebih mendalam, self-labeling ini bagaikan dua mata pisau yang berdampak positif dan negatif bagi pelaksanaan sertifikasi ekowisata Indonesia di masa depan. 

Self-Labeling Ekowisata dan Pragmatis

Adanya self-labeling dalam penerapan dan pencantuman nomenklatur ekowisata pada sebuah destinasi wisata tentunya dilatarbelakangi berbagai hal. Labeling membantu menentukan arah dan tujuan destinasi wisata dalam fokus kegiatannya, namun dengan self-labeling, destinasi wisata akan sangat praktis menggunakan nomenklatur tersebut tanpa proses yang panjang. Praktis dalam artian penentuan, pengurusan, proses sertifikasi, dan praktis tanpa ada monitoring dan evaluasi. 

Pragmatis self-labeling begitu terasa bagi destinasi wisata yang dijalankan dalam cakupan menengah ke bawah. Jika sebuah destinasi melakukan sertifikasi maka buntutnya destinasi tersebut harus berupaya mencapai target prinsip-prinsip ekowisata serta indikator di dalamnya. Contoh pada kasus Indonesia Sustainable Tourism Certification, 

Apabila destinasi tersebut telah menerima sertifikasi ISTC namun selama dua tahun tidak menjalankan prinsip pelestarian sosial budaya dan lingkungan, maka akan langsung dicabut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun