Mohon tunggu...
Hussein Al Mujahid
Hussein Al Mujahid Mohon Tunggu... -

Saya seorang seorang mahasiswa di STIS SBI Surabaya. Seorang web developer di suatu perusahaan herbal.\r\nDomisili sekarang di PMI, Jl. Tenggilis Lama IIIB/45, Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tidak Ada Alasan Mununda Nikah

29 November 2013   09:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:32 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pekerjaan sudah punya (dalam artian sudah punya penghasilan tetap walau bisa dibilang kecil bin sedikit), usia sudah bisa dikatakan "sudah waktunya", dan mental sudah siap; lalu harus menunggu apa lagi? Haruskah aku terus-menerus bermental pecundang untuk mencari-cari alasan menundah menikah? Setidaknya, itulah monolog awal yang ada di benakku waktu itu. Kebanyakan mahasiswa mungkin berpikir bahwa mereka harus menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. Mungkin yang ada dalam benak mereka adalah bahwa mereka harus konsentrasi memahami setiap jengkal pemaparan dosen mata kuliah, buku-buku harus mereka kunyah hingga lumat, hingga akhirnya mereka lulus dengan nilai IPK yang bagus. Maka dengan bekal nilai IPK yang bagus itu diharapkan mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dengan gaji yang tinggi. Lalu dengan gaji itu mereka tabung sedikit demi sedikit hingga dirasa cukup sebagai modal nikah, baru mereka memutuskan untuk menikah. Atau ada sebagian yang lain yang baru akan memutuskan untuk menikah ketika sudah mempunyai rumah dan segala isinya. Status sebagai seorang mahasiswa tidak membuat saya menuruti pemikiran para mahasiswa pada umumnya. Sebab jika saya menuruti cara berpikir mereka (dalam hal ini tentang konsep menikah), maka harus di umur berapa saya akan memutuskan menikah? Sekilas info; pada waktu itu umur saya 23 tahun. Pada umur segitu juga saya baru berhasil mengubah status saya menjadi seorang mahasiswa, dimana sebelumnya sejak tahun 2008 (tahun dimana saya lulus SMA) saya menjadi karyawan di berbagai perusahaan. Maklum, saya berasal dari keluarga "kurang mampu" dimana orangtua maupun saudara-saudara saya tidak dapat membantu membiayai saya kuliah. Maka dalam waktu 4 tahun itu (2008-2012) saya berusaha mencari dan mengumpulkan uang untuk sekedar memenuhi biaya masuk kuliah. Dan juga karena faktor pencarian tempat kuliah yang fleksibel −dimana saya bisa kuliah sambil bekerja− yang membuat saya begitu lama (± 4 tahun) menunda waktu untuk kuliah. Karena terus terang, jika tidak sambil bekerja maka darimana saya bisa mendapatkan uang untuk membiayai kuliah saya? Maka jika pada waktu itu saya harus menuruti mindset mahasiswa pada umumnya, maka bayangkan, mungkin kira-kira saya akan menikah di umur 30 tahun {sudah kadaluarsaCak! }; yaitu dengan asumsi saya lulus kuliah di umur 27 tahun, lalu bekerja ± 3 tahun untuk mengumpulkan duituntuk modal nikah. Iya kalo langsung dikaruniai anak, kalo nggak? Jika kenyataannya seperti itu, lalu di umur seberapa tua kita baru bisa menimang anak buah karya kita sendiri??? 

Akankah kita bisa memenuhi himbauan Rasulullah saw. untuk mempunyai anak banyak? Alih-alih bisa nambah istri!!? 
Di negeri penganut sistem kapitalisme-sekuler berbungkus demokrasi ini tentunya bukan hal yang langka untuk dapat dengan mudahnya melihat aurat di mana-mana. Hal ini berakibat pada sulitnya meredam syahwat. Mungkin satu-satunya cara agar kita bisa meredam syahwat dari penampakan aurat adalah dengan hidup menyendiri di pedalaman terpencil dengan tanpa fasilitas elektronik. Walaupun islam mewajibkan kita untuk ghodul bashor (menundukkan pandangan) namun apakah bisa kita selamanya melakukan hal itu? Apakah bisa kita terus menundukkan pandangan tanpa melihat ke depan-belakang dan ke kanan-kiri pada saat kita berada di jalanan? Rasulullah Sallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah aku tinggalkan fitnah yang lebih besar bagi kaum lelaki melebihi fitnah wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka dengan adanya latar belakang tersebut tidak boleh ada alasan lagi untuk kita menunda nikah di saat kita telah ba'ah (yang mampu menanggung beban pernikahan) untuk menikah. Rasulullah saw. bersabda: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ ‏اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ ‏وِجَاءٌ “Wahai para pemuda, siapa yang ba'ah maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan, dan siapa saja yang tidak mampu, maka hendaklah baginya berpuasa, karena sesunguhnya puasa itu adalah perisai baginya” (HR. Bukhari dan Muslim). Sekilas selingan untuk memahami makna ba'ah yang saya 'copas' 
(dengan sedikit editing) dari blog milik orang sebagai berikut:

Makna Ba’ah Dalam Pernikahan

Dalam hadits (riwayat Bukhari-Muslim) di atas, Rasul memerintahkan para pemuda yang mampu (ba’ah) agar menikah. Artinya, bagi para pemuda sudah mampu untuk ba’ah, maka saat itulah saat yang tepat baginya untuk meminang (khitbah). Adapun maksud kata ba’ah dalam hadits di atas, para ulama terkelompokkan dalam dua pendapat. Kedua pendapat itu sebenarnya merujuk kepada satu pengertian yang sama dan terkait satu sama lainnya. Dua pendapat ulama tersebut adalah sebagai berikut,

  • Pendapat pertama, makna secara bahasa yaitu jimak (bersetubuh). Dan maksud dari hadits itu adalah siapa saja yang mampu bersetubuh karena ia mampu menanggung bebannya, yaitu beban pernikahan, maka hendaklah dia menikah. Sebaliknya, siapa saja yang tidak mampu jimak, karena kelemahannya dalam menanggung bebannya, maka hendaklah berpuasa.

  • Pendapat kedua, makna ba’ah itu adalah beban (al-mu’nah dan jamaknya mu’an) pernikahan. Imam Nawawi dalam Syarh Sahih Muslim juz ix/173 ketika menjelaskan makna ba’ah, beliau mengutip pendapat Qadhi Iyadh, menurut bahasa yang fasih, makna ba’ah adalah bentukan dari kata al-maba’ah yaitu rumah atau tempat, di antaranya maba’ah unta yaitu tempat tinggal (kandang) unta. Kemudian mengapa akad nikah disebut ba’ah, karena siapa yang menikahi seorang wanita maka ia akan menempatkannya di rumah.

As-Suyuthi dalam Syarah as-Suyuthi li as-Sunan an-nasa’I juz iv/171 juga menukil pendapat Qadhi Iyadh, bahwa tidak dapat dihindari bahwa kata mampu dalam hadits di atas terdapat perbedaan pendapat. Maksud kata mampu yang pertama adalah siapa di antara kalian yang mampu jimak (bersetubuh)-telah baligh dan mampu bersetubuh-hendaklah ia menikah. Sedangkan kata mampu yang kedua “siapa saja yang tidak mampu” yakni tidak mampu menikah (tapi mampu bersetubuh), maka baginya berpuasa”. Asy-Syaukani dalam Naylu Al-Awthar juz vi/229 juga menukil pendapat Qadhi Iyadh, bahwa maksud kata mampu yang kedua “siapa yang tidak mampu menikah” adalah tidak mampu menikah karena sedikitnya kemampuan menanggung beban-beban pernikahan dan karena kekurangan dalam bersetubuh, maka baginya berpuasa. Sementara dalam hadits lain yang redaksinya kurang lebih sama, yang diriwayatkan an-Nasa’i, Ahmad, al-Bazar, dan riwayat ath-Thabrani, Rasul mendorong siapa saja yang mampu menyiapkan atau yang memiliki thawl agar menikah. As-Sinadi dalam Hasyiyah as-sinadi juz vi/57 menjelaskan bahwa at-thawl maknanya adalah kemampuan untuk membayar mahar dan kemampuan untuk menunaikan nafkah. Maka berangkat dari latar belakang itu pula −pada waktu itu− saya mempunyai azam yang kuat untuk harus menikah dalam waktu dekat atau tidak lebih dari 1 tahun. Sebab apalagi yang harus saya tunggu? Setidaknya saya telah mempunyai penghasilan untuk menafkahi istri saya nanti. Mengenai biaya nikah dan lain-lain saya pasrahkan kepada Allah dan yakin bahwa Allah pasti akan membantu hambaNya ketika jalan yang diambil hambaNya memang sebagai manifestasi menuju ketaatan kepadaNya. Allah SWT berfirman: وَ اَنْكِحُوا اْلاَيَامى مِنْكُمْ وَ الصّلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَ اِمَائِكُمْ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِنْ فَضْلِه، وَ اللهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui[QS. An-Nuur : 32] Ngekos ataupun urunan mengontrak rumah untuk menjadi tempat tinggal merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa. Hal itu tentunya tidak mungkin tidak berbiaya. Uang mau tidak mau juga harus dikeluarkan untuk biaya hidup (dalam hal ini biaya makan) dan transportasi. Lalu jika semua biaya itu ditotal dan gaji yang saya peroleh tiap bulan dikurangi dengan itu maka yang tersisa hanya sedikit. Apalagi status saya juga merupakan anggota dari jama'ah dakwah yang tentunya tiap bulan saya harus mengeluarkan iltizamat (komitmen infaq bulanan). Maka sisa gaji bulanan itu hanya bisa saya tabung kira-kira sejumlah bayariltizamat untuk tiga bulan {cukup mengenaskan!}So, seandainya waktu itu saya menuruti 'konsep menikah kalo sudah ada modal dan sudah mapan', lalu harus menunggu berapa tahun untuk saya bisa mengumpulkan uang demi kecukupan modal nikah dari sisa uang gaji bulanan yang sangat minim tersebut???Haruskah aku(kita) menyiksa diriku(diri-kita) untuk terus menahan syahwat yang terus dipaksa bergejolak oleh sistem kurang ajar demokrasi-sekuler??? Maka yang menjadi alasanku pula untuk tidak menunda menikah adalah

"daripada gajiku habis untuk keperluan pribadiku sendiri lebih baik gajiku habis untuk berdua dengan istriku (karena nafkah) dimana hal itu malah berkah dan berpahala bahkan berlipat ganda."

Dan aku yakin pula bahwa dengan menikah adalah

"jalan untuk bisa kaya dan sukses lebih cepat."

Well, tanpa ingin membuat pembaca bosan/lelah membacanya (karena mungkin terlalu panjang) maka saya persingkat saja ceritanya. Alhamdulillah... saat ini (saat artikel ini dibuat −Nopember 2013−) saya telah berubah status menjadi seorang suami, dan insyaAllah sebentar lagi juga akan menjadi seorang ayah {doakan ya.}. Saat ini istri saya sedang hamil menjelang 3 bulan. Awal aksi mencari dan memilih calon istri, proses ta'aruf, komitmen dan keberanian mendatangi rumah calon mertua untuk mengkhitbah (meminang) calon istri, lika-liku menghadapi ujian pranikah, perjuangan menyusun konsep pernikahan yang syar'i, hingga akhirnya sukses mengucapkan qabul nikah dan sukses acara pernikahan tidak bisa saya ceritakan semuanya di sini. Yang jelas saat ini saya tidak perlu gelisah bin galau lagi, pulang kerja/kuliah/bepergian sudah ada yang menyambut dengan senyuman dan segelas teh hangat, baju sudah ada yang nyuciin, pegal ada yang mijitin, makan ada yang nemenin dan segala kebahagian dan keindahan yang tidak dapat saya utarakan semuanya {yang bujangan jangan iri bin galau ya...}. Yang jelas kini aku merasa hidupku lebih indah dan lebih berkah! Rasulullah Muhammad saw. menegaskan: “Barangsiapa yang dimudahkan baginya menikah lalu ia tidak menikah, maka tidaklah ia termasuk golonganku” (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi) Orang yang paling buruk diantara kalian ialah yang melajang (membujang) dan seburuk-buruk mayat (diantara) kalian ialah yang melajang (membujang) (HR. Imam, diriwayatkan juga oleh Abu Ya’la dari Athiyah bin Yasar) Cukup sekian saja sharing of hussein kali ini. Semoga setelah membaca artikel ini para pembaca tidak lagi ada alasan menunda nikah. Mohon maaf apabila ada kata yang kurang enak di hati. Terakhir saya ucapkan terimakasih telah bersedia membaca artikel ini. Jangan ada alasan untuk menunda nikah ya...!! :) WASSALAMU'ALAIKUM WARAHMATULLAHI WABARAKATUH. [HusseinAlMujahid]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun