Mohon tunggu...
Husni Fahruddin
Husni Fahruddin Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat, politisi dan jurnalis

Koordinator Youth Institute, BORNEO (Barisan Oposisi Rakyat Nasional dan Elaborasi Organisasi), FORMAS (Forum Organisasi Masyarakat), Laskar Kebangkitan Kutai (LKK), Advokat & legal Auditor

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Golkar Jokowi dan Golkar Prabowo, Siapa Menang?

2 Juli 2019   08:03 Diperbarui: 2 Juli 2019   08:26 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika pluit dukungan untuk Jokowi sebagai capres 2019 di tiupkan pada Rapimnas Partai Golkar pada 28 Juli 2016 dan ditegaskan kembali dalam Munaslub Partai pada 20 Desember 2017, inilah strategi jitu yang dirancang Airlangga Hartarto (AH) untuk memuluskan raihan puncak kepemimpinan tertinggi Partai Golkar.

Menilik keadaan Munaslub Golkar tahun 2017, AH mendapatkan dukungan penuh dari 34 Dewan Pimpinan Daerah (DPD) tingkat I, 514 DPD tingkat II, dan 10 ormas (didirikan, mendirikan dan sayap) ditubuh Golkar.

Sebelumnya, AH telah terpilih sebagai Ketua Umum menggantikan Setya Novanto pada rapat pleno yang digelar pada Hari Rabu, 13 Desember 2017 di kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Jakarta. Munaslub ini telah menghasilkan keputusan untuk menetapkan (bukan memilih) AH melalui mekanisme aklamasi dan memilih satu opsi yang berbunyi AH berhak memimpin hingga 2019, plus rapimnas untuk membahas perpanjangan masa kepemimpinan AH.

Begitu ketatnya kontestasi Pilpres di tahun 2019, membuat banyak kader partai Golkar berkeyakinan bahwa Prabowo Subianto akan sukses memenangkan kursi presiden kali ini. Keyakinan ini yang membuat munculnya faksi ditambah lagi Golkar dan PDIP sulit seirama dalam memperjuangkan Jokowi karena kedua partai memiliki kultur sejarah yang penuh dengan friksi.

Terbelahnya Golkar sangat terasa sekali, faktual terlihat di komunitas-komunitas kader yang menyatukan diri secara formil dalam organisasi relawan pemenangan di kedua belah pihak, terutama di media sosial, perbedaan sikap kader dalam mendukung 01 dan 02 semakin meruncing.

Perdebatan hangat sampai panas intens terjadi untuk mempengaruhi dan mengarahkan kader Golkar beserta konstituen dalam memilih Jokowi dan Prabowo. Sampai pada satu titik kompromi yang memunculkan kompas gerakan bahwa pilihan personal kader untuk memberikan dukungan kepada Jokowi atau Prabowo didasarkan atas signifikansi pengaruh kedua capres dalam perolehan suara untuk pileg bagi Golkar.

Kompromi ini tidak pernah di legalkan oleh partai namun telah menjadi aturan tidak tertulis dalam pemilu serentak ini. Inilah gambaran wajah Golkar kekinian yakni Golkar Jokowi dan Golkar Prabowo. Padahal Akbar Tanjung telah susah payah menanamkan Golkar Kekaryaan. Golkar yang tidak ketergantungan dengan figur tapi lebih menitikberatkan kepada karya nyata yang bersinggungan langsung dengan kepentingan rakyat.

Perdebatannya kedua kutub ini juga tidak jauh dari konflik emosional dan cenderung tak empiris, sejarah "romantisisme" antara Golkar dan PDI di jaman Soeharto terus diperlebar, padahal politik adalah kepentingan bukan perseteruan, perdebatan politik identitas yang mengarahkan stigma absurd bahwa pendukung Prabowo adalah Islam sejati, yang mendukung Jokowi adalah Islam abangan, anti Islam dan non muslim, mengidentikkan Soekarno memiliki faham komunis atas dasar konsep politik nasakom, mendukung berseminya PKI, tak luput pula kebencian teramat sangat dengan Cina dan segala sesuatu yang berbau Cina akan menjadi senjata yang mematikan bagi Jokowi.

Banyak sekali tokoh-tokoh senior Golkar yang secara diam-diam memainkan kepribadian ganda, artinya diluar terlihat menjalankan perintah partai untuk memenangkan Jokowi namun kenyataan didalam sangat pasif bergerak, bahkan terkesan aktif memihak Prabowo.

Sejak quick count menyatakan kemenangan Jokowi, mulailah timbul manuver baru di internal Golkar untuk tidak terhempas ke jurang terdalam karena telah "khilaf" mendukung Prabowo. Gerakan pendomplengan kesuksesan AH dalam mengusung Jokowi ini dijalankan agar mendapatkan nilai tawar tinggi untuk tidak "puasa" selama periodesasi kedua kepemimpinan Jokowi.

Golkar Prabowo terus berteriak kepada Jokowi, wajib mendapatkan jatah Ketua MPR, minimal 4 kursi menteri, ketua-ketua komisi DPR, posisi strategis di badan-badan pemerintah termasuk juga BUMN dan yang lebih ekstrim lagi meminta Golkar untuk melepaskan dirinya dari kekuasaan alias keluar dari koalisi dan menjadi oposan sejati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun