Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Turbulensi Sidang Kedelapan Ahok dan Kritik untuk MUI

6 Februari 2017   17:39 Diperbarui: 6 Februari 2017   18:42 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: www.kompas.com

Di awal-awal rasanya laik mengapresiasi penuh terima kasih kepada Mbakyu Yeni Wahid, Mbakyu Alissa Wahid dan sesepuh NU yang turut meredakan ”gronjalan” pascapersidangan Ahok kedelapan (31/1). Begitu pula jajaran Ansor-Banser dan nahdhiyin yang lebih memilih tetap menahan diri.

Tentu diharapkan komunikasi lanjutan yang makin kondusif, baik melalui jalur struktural maupun kultural, oleh para tokoh nahdhiyin hingga akar rumput. Seiring pula antara para elit NU dengan kalangan eksternal. Mengingat, kecamuk politik mendekati hari coblosan Pilgub DKI Jakarta yang semakin membadai ke mana-mana.

Sambil terus cooling down, saya hanya ingin menengok kembali dari kacamata wong cilik, bahwa persidangan kedelapan Ahok saat JPU menghadirkan Ketum MUI, KH Ma’ruf Amin, hari Selasa lalu hanya satu sub-episode rangkaian yang belum tuntas dari peradilan terkait. Satu-satunya langkah pro justitia yang kudu dijalani guna menemukan jawaban seutuhnya atas pertanyaan masyarakat umum, lebih dari sebatas ikhtiar pihak Gubernur DKI Jakarta nonaktif itu sendiri dalam mendapatkan timbangan keadilan.

Masih segar dalam ingatan, betapa sejak mula perhatian khalayak luas, bukan hanya warga Jakarta dan sekitarnya, terbetot sedemikian rupa untuk ikut menyuntuki kasus penodaan agama ini sampai persidangan demi persidangannya sekarang. Termasuk saya yang tinggal berkilo-kilo meter dari Ibukota jauhnya.

Riak-riak keriuhan yang silih berganti menyertai dan tak jarang secara massal, baik yang masih tercantel perkara ini maupun lepas samasekali, terus mendedahkan stimulus emosi dengan sporadis dan massif. Jangankan para pihak bersangkutan, warga biasa seperti saya juga ikut sumpek di kejauhan. Saya jadi penasaran, warga Jakarta sendiri tampaknya enjoy saja yo?

Belum lagi, sebaran kabar provokatif media sosial yang seakan tiada henti merangsek hingga saat kita di peraduan. Kaum muslim yang beribadah shalat Jumat kemarin di sejumlah tempat saja, mendapati selebaran tentang sidang Ahok itu disertai nama Kiai MA dan NU merujuk Republika Online, serta kalimat ”Syariah & Khilafah Mewujudkan Islam Rahmatan lil Alamin” di dalamnya. Hak setiap individu untuk menikmati ruang informasi dan komunikasi yang benar-benar lega sudah terampas.

Situasi demikian sarat potensi timbulnya respons emosional. Bukan hendak meremehkan pokok persoalan, miskomunikasi sedikit saja akan menyentak kesalahpahaman hingga luapan psikologi massa. Upaya berdialog dengan pikiran serta hati yang lebih adem menjadi terlewatkan akhirnya.

Hampir saja kita stuck ketika tanpa diduga persidangan itu menyisakan turbulensi. Lebih ketir-ketir lagi, seketika NU serasa akan ikut terhisap. Andai terlambat sebentar saja, entah apa yang akan terjadi. Kebetulan saya intens mengikuti termasuk awwal marrah yang saya tonton dari siaran televisi dan sandingan rilis media-media online yang sekiranya layak dijadikan rujukan.

Ketika pemberitaan sehari sebelum persidangan (30/1), menyebutkan Kiai MA akan bersaksi, kegelisahan menghinggapi pikiran dengan berbagai pertanyaan. Antara lain, Kiai MA dihadirkan dalam kapasitas sebagai apa? Saksi atau ahli? Bagaimana koordinasi MUI? Bukan soal materi keterangan, tetapi sebab kondisinya telah sepuh serta relasi NKRI dan NU ujungnya. Kalau soal materi kesaksian, toh sidang hari itu hanya satu sub-episode dari proses yang belum tuntas.

Dari siaran televisi sore usai Kiai MA memberikan kesaksian, Ikhsan Abdullah (monggo koreksi bila tidak presisi), anggota MUI yang mendampingi kiranya tergesa-gesa menyampaikan komentar dengan intonasi kurang adem. Dalam satu situs bahkan dikesankan pengacara mengamuk (Kriminalitas).

Mungkin karena lebih kecapaian dibandingkan Kiai MA yang sesekali masih tersenyum sekeluar dari ruang sidang. Walau juga letih bersaksi sekian jam di persidangan. Dalam komentarnya Ikhsan menilai persidangan tidak manusiawi dan pihaknya bakal melapor kepada MA, seperti kemudian dirilis pula dalam Kompas-1.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun