Mohon tunggu...
Husna Nadin Mayla Zulfa
Husna Nadin Mayla Zulfa Mohon Tunggu... Mahasiswa - if u can't do what u love, love what u do

Life is Unstoppable Learning

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Toxic Positivity, Memaksa Berpikir Positif Bukan Solusi Terbaik

15 Maret 2021   22:58 Diperbarui: 15 Maret 2021   23:20 1371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.aboutselflove.com

Sebagai manusia, ada kalanya yang terjadi dalam kehidupan tidak sejalan dan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Misalnya selama pandemi Covid-19 ini, kita kerap kali mengetahui banyak sekali kabar duka. Tidak hanya itu, semua rencanamu nyaris terhambat dan tidak terlaksana karena pandemi ini. Merasa kesepian, stres, dan lelah karena kondisi yang tidak normal. Intinya kita sedang berada pada kondisi yang buruk dan tidak sedang baik-baik saja.

Hal itu sungguh tidak apa-apa, berusahalah tetap menerima dan memproses setiap emosi, kemudian dari kondisi yang kita alami ini kita dapat memanfaatkan waktu dirumah saja dengan keluarga, atau belajar lebih banyak skill yang kelak akan menunjang karir. Hal itu akan jauh lebih baik dibandingkan menghindari hal-hal buruk yang terjadi.

Defensive Pessimism atau Pesimisme Defensif

Konsep ini diteliti oleh Julie Norem, Profesor Psikologi dari Wellesley College. Ia mengungkapkan mengenai mengapa beberapa orang justru memberikan respon lebih baik terhasap peristiwa negatif. Penelitiannya menunjukkan bahwa dengan memikirkan segala sesuatu yang bisa jadi berjalan tidak sesuai rencana akan mengurangi kekhawatiran kita dan sering kali sanggup untuk mengantisipasi hambatan dan rintangan tersebut.

Jika kita terus memaksa untuk berpikir positif juga akan menimbulkan kerugian. Berikut kerugian dari memaksakan berpikir positif yang dikutip dari artikel "Toxic Positivity : Don't Always Look On The Bright Side" (2019)  dan "The Tyranny of Positive Thinking Can Threaten Your Health and Happiness" (2016)

Perasaan dan emosi yang sebenarnya merupakan informasi penting bagi diri kita.

Ketika kita memaksakan diri untuk terus berpikir positif, diwaktu yang bersamaan kita telah menolak perasaan sedih atau marah. Hal ini mengakibatkan kita kehilangan informasi yang bisa membantu menanggapi situasi dengan tepat. Contohnya, perasaan marah, informasi bahwa kita harus bisa lebih sabar dan dapat mengontrol diri

Terlalu memaksa berpikir positif akan mengahalangi untuk bersikap terbuka dalam menceritakan perasaan.

Tidak sedikit orang ketika dalam keadaan terpuruk, sedih, atau down, mereka akan beranggapan bahwa mereka baik-baik saja tidak ada masalah, padahal mereka sangat membutuhkan bantuan, walaupun hanya sekadar bercerita melegakan pikiran kepada orang terdekat.

Jadi, yang perlu kita garis bawahi adalah menerima perasaan dan emosi apapun yang sedang menerpa diri kita masing-masing sehingga kita dapat mengetahui bagaimana sebenarnya kondisi yang sedang kita alami. Meminta bantuan walaupun hanya sekedar ingin untuk didengarkan orang terdekat bukanlah pilihan yang salah untuk memperbaiki keadaan agar kita tidak terperangkap dalam Toxic Positivity.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun