Mohon tunggu...
Djamaluddin Husita
Djamaluddin Husita Mohon Tunggu... Lainnya - Memahami

Blogger, Ayah 3 Putra dan 1 Putri. Ingin menyekolahkan anak-anak setinggi yang mereka mau. Mendorong mereka suka membaca dan menulis (Generasi muda harus diarahkan untuk jadi diri sendiri yang berkarakter).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Intelektual Eror

19 November 2017   08:05 Diperbarui: 19 November 2017   08:15 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin masih ingat peristiwa seorang dokter (tidak disebutkan kembali namanya di sini) yang membunuh isterinya hingga tewas beberapa waktu lalu?. Konon, sang dokter yang membunuh isterinya (yang juga berprofesi sebagai seorang dokter) menggunakan senjata api, dengan jarak tembakan tidak terlalu jauh (baca: dekat). Sebagaimana diberitakan sang Isteri seketika menghembuskan nafas penghabisan.

Pembunuhan apalagi pembunuhan berencana adalah kejahatan yang paling bejat diantara kejatahatan-kejahatan yang lain di dunia ini. Mereka ini, telah bertindak di atas kepatutan dan kewajaran. Apalagi yang melakukannya adalah orang-orang yang terdidik.

Bila kita kaitkan dengan kasus sang dokter tadi, menurut saya apa yang dilakukannya itu lebih bejat lagi dimana yang dihabisinya adalah isterinya sendiri (meski sudah mau bercerai). Sebab, mereka berdua pasti sudah pernah mengecap keindahan dunia dengan segala pernak-perniknya. Apalagi, bila sudah punya anak, isterinya adalah ibu dari anak-anaknya. Sehingga yang menjadi korban dan menanggung segala penderitaan juga anak-anaknya sendiri. Atau paling kurang, orang-orang di sekitar  isterinya.

Sewaktu membaca berita itu, terbersit dalam pikiran kita (mungkin hanya saya) bahwa betapa teganya seorang anak manusia membunuh manusia lain yang notabenebya adalah Isterinya sendiri. Lalu pertanyaan yang muncul bukan hanya: dimana letak hati nuraninya tetapi juga, dimana letak Intelektualitasnya?

Pasalnya pelaku itu adalah seorang dokter yang secara kualitas intelektual selama ini diakui lebih. Bahkan mereka yang mau kuliah di Fakultas Kedokteran saja memiliki standar nilai lebih tinggi dibandingkan fakultas lain. Artinya, mereka memang sudah disaring begitu ketat jauh-jauh hari. Namun, perlu saya tegaskan juga, dalam hal ini mereka yang memilih fakultas lain rendah. Sebab tergantung pilihan-pilihan pribadi juga.

Tingkat pendidikan menjadi indikator bagi seseorang untuk menilai kualitas intelektual sesorang. Mereka yang sudah melewati jenjang pendidikan tinggi tentu memiliki kualitas beda dengan yang jenjang pendidikan rendah. Dari segi Intelegensi Quotient saja sudah berbeda. Barang kali (maaf) yang IQ sangat rendah pasti tidak mampu lulus tingkat sekolah dasar. Tetapi mereka yang memiliki IQ rata-rata, sudah pasti dapat melewati pendidikan menengah atas dan seterusnya.

Semestinya, seseorang yang sudah mengecap jenjang pendidikan lebih tinggi secara kecerdasan, keilmuan dan intelektualitas juga tinggi. Sehingga segala tindakan dan aktivitasnya tentu saja dengan mudah dapat memilah-milah mana yang baik dan mana yang tidak baik.

Perlu diingat, tujuan dasar dari pengembangan ilmu pengetahuan adalah untuk meningkatkan harmonisasi kehidupan. Membuat manusia dan alam sekitar lebih damai dan aman. Kesejahteraan meningkat dan kehidupan menjadi lebih baik. Bukan sebaliknya, apalagi menghilangkan kehidupan seseorang. Jangankan menghilangkan kehidupan seseorang membuat orang susah saja akan bertentangan dengan intelektual yang dimilikinya. Sehingga dapat dikatakan prilaku itu disebabkan karena intelektual error.

Bila melihat realitas yang lain, kecenderungan prilaku intelektual error banyak sekali dipraktekkan oleh mereka yang memiliki pengetahuan tinggi.

Praktek-praktek membalikkan fakta, terutama dalam ranah hukum, yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan hukum tinggi adalah contoh lain yang membuat semua kita atau dalam Istilah Daniel Simanjuntak nalar publik terhina. Rekayasa-rekayasa kasus dan juga membuat drama-drama rendahan untuk sekedar mengelabui hukum adalah tindakan yang sulit diterima akal sehat.

Salah satu kasus teranyar yang dipertontonkan oleh seseorang yang terhormat ketua DPR adalah sesuatu yang terkadang sulit diterima oleh khalayak ramai. Mungkin benar apa yang terjadi. Tetapi kejadian yang benar dengan momentum yang kurang tepat membuat orang-orang banyak beranggapan bahwa itu hanyalah sebuah rekayasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun