Mohon tunggu...
Elsa Ameera
Elsa Ameera Mohon Tunggu... -

..real human

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Murah Njaluk Slamet!

13 Januari 2015   01:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:16 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1421062823764015688

[caption id="attachment_364194" align="aligncenter" width="576" caption="Terbang dengan selamat (Doc: Pribadi)"][/caption]

Masih teringat kata-kata teman dengan gaya Suroboyan yang ceplas-ceplos, artinya kira-kira "Murah Minta Selamat". Konteks kata-kata ini terlihat kasar dan sarkasme, tapi jangan salah lho, jika ada ungkapan seperti di atas artinya bahwa di kehidupan nyata hal ini merupakan sebuah hal yang "wajar".

Kita coba balik ke konteks "murah". Mahal atau pun murah tentunya merupakan sebuah ukuran yang bisa kita ambil sebagai nilai eksakta maupun normatif. Kuncinya adalah pada pembanding dari ukuran tadi atau bisa kita sebut sebagai standard. Apakah harga tiket pesawat terbang Jakarta - Surabaya seharga 99 ribu rupiah disebut murah? Bagaimana kalau untuk rute yang sama harganya 2 juta? Kalau dibandingkan langsung tentunya tiket pertama seharga 99 ribu adalah murah, sedangkan yang 2 juta kita bilang mahal. Untuk mengukur tingkat kemahalan tentunya tidak semudah parameter pembanding seperti itu. Dari sisi maskapai penerbangan tentunya punya sebuah kalkulasi atas harga tiket yang ditawarkan, kita bisa menyebutnya sebagai struktur biaya (cost structure). Paling mudah kita analogikan orang jualan sayur di pasar. Untuk menghitung laba rugi tentunya dihitung struktur biayanya. Pertama tentunya modal beli sayur dari petani langsung kemudian ditambah biaya operasional termasuk transportasi ke pasar. Setelah dikalkulasi di ujung tentunya akan dapat nilai yang pas sebagai harga jual dengan memperhitungkan laba di dalamnya. Maskapai penerbangan pun tentunya punya dasar perhitungan yang sama analoginya. Bisa jadi tiket seharga 99 ribu tadi tidak bisa lagi kita sebut sebagai "tiket murah" karena tidak masuk  akal bahkan untuk menutup biaya operasional. Jadi yang digunakan sebagai metoda kalkulasi lebih kompleks lagi, untuk rute yang sama harga bisa terjadi floating dari level "tidak masuk akal", "murah" sampai dengan kategori "mahal". Terjadi subsidi silang di dalam perhitungan sebuah rute penerbangan.

Lalu bagaimana dengan tiket seharga 2 juta tadi? Misalnya ternyata setelah dikalkulasi dari biaya operasional hanya 50% dari harga tiket, itu artinya kita bayar 50% lebih untuk harga sebuah "pelayanan". "Pelayanan" ini lah yang masuk kategori harga normatif dan secara tidak langsung merupakan "jaminan keselamatan". Pak Jonan bukan tanpa alasan mengkaitkan antara "tiket murah" dengan faktor keselamatan, murah njaluk slamet..!
Hal ini merupakan faktor psikologis yang meski tidak terkait langsung tapi sangat erat hubungannya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kualitas yang bagus sebanding dengan harga meski tidak bisa menjadi sebuah parameter yang berbanding lurus. Semangkok mie ayam di pinggir jalan dengan semangkok mie ala hotel berbintang tentu harganya beda setinggi langit. Tapi yang bisa kita dapat adalah jaminan kualitas. Mie ayam di pinggir jalan kita bisa lihat langsung bagaimana penyajiannya, bagaimana proses cuci mangkok kotor kemudian disajikan di hadapan kita. Potensi sakit perut tentunya lebih besar dibanding kita makan semangkok mie racikan koki di  hotel berbintang.
Kita coba lihat kendaraan bermotor, mobil misalnya. Faktor safety merupakan hal yang diutamakan. Tapi apakah standard safety mobil senilai 1 milyar sama dengan standard safety mobil murah ala LCGC?

Jadi janganlah kita menutup mata dengan mengabaikan hubungan antara "tiket murah" dengan faktor keselamatan karena sangat berhubungan erat, apalagi untuk konteks budaya di masyarakat kita. Yang dibutuhkan oleh kita sebagai konsumen bukanlah "tiket murah" yang harus dibayar murah juga dengan nyawa kita, tapi sebuah kualitas "pelayanan" yang harus rela juga kita "bayar mahal" sebagai kompensasinya. Pembenahan manajemen dan mental "melayani" menjadi kebutuhan mendasar. Transparansi dalam pengelolaan manajeman maskapai penerbangan akan menjadikan "tiket murah" memang murah dengan kualitas pelayanan dan tingkat keselamatan yang lebih dijamin. Jadi tidak ada lagi "tiket murah" merupakan sebuah terobosan revolusi mental bahwa kita sudah beli "tiket mahal" dan layak untuk selamat. Larang yo kudu slamet to..!!

..real human

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun