Mohon tunggu...
Rio Estetika
Rio Estetika Mohon Tunggu... Freelancer - Dengan menulis maka aku Ada

Freelancer, Teacher, Content Writer. Instagram @rioestetika

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam dan Feminisme Berjumpa, Mungkinkah Berjodoh?

17 April 2020   18:35 Diperbarui: 17 April 2020   18:42 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi dari edtimes.in

Menggunakan Al Quran sebagai pijakan berpikir dan bertindak, Islam tampil menjadi agama yang melegitimasi eksistensi keberadaan kaum perempuan secara apik. Perempuan mendapatkan porsi dan hak yang sama dengan laki-laki. Dalam Al-Qur’an, laki-laki dan perempuan jelas dinyatakan setara di hadapan Alllah Swt.

Misalnya dalam  QS. Al-Dhariyat [51]: 56 disebutkan bahwa “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku.” Perempuan dan laki-laki sama-sama diciptakan untuk menjadi hamba, dan yang membedakannya adalah nilai ketaqwaannya seperti yang disebutkan dalam Q.S. Al-Ḥujurat [49]: 13. “…Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa…” Laki-laki dan perempuan juga sama-sama diciptakan sebagai khalifah fil ard (Q.S. al-Baqarah[2]: 30), sama-sama memberikan kesaksian sebelum kelahirannya kepada Allah (Q.S. al-A‘raf [7]: 172), serta sama-sama mendapatkan pahala yang sama dalam melakukan kebaikan (Q.S. al-Naḥl [16]: 97).

Persoalan emansipasi di ruang publik sebetulnya dalam sejarah Islam telah ada contoh kausalitasnya. Sayyidah Aisyah-istri nabi Muhammad yang paling muda merupakan salah seorang perawi hadis yang terkenal. Ia mendapatkan ruang publik untuk bebas bergerak dalam bidang pendidikan. Bahkan, ia juga pernah berpartisipasi dalam bidang peperangan sebagai satu dari tiga orang komandan perang di awal kepemimpin khalifah Ali bin Abi Thalib.

Keterangan lebih lanjut bisa dibaca dalam buku “Aisyah: Kekasih yang Terindah” karya Sulaiman an-Nadawi dalam bab Perang Waqi’atul Jamal. Apa yang dilakukan Sayyidah Aisyah adalah sebuah bukti bahwa Islam mengakui dan meghormati eksistensi serta peran wanita dalam berbagai segmentasi kehidupan. Namun menyatakan Aisyah adalah pelopor feminisime ala Islam juga tidak tepat. Karena apa yang dilakukan Sayyidah Aisyah tidak bercorak nilai feminisme baik secara ontologis, epistemologi, maupun aksiologi.

Islam menganjurkan agar perempuan itu berilmu? Mengapa demikian, karena ibu adalah madrasah pertama bagi anak yang mana hal tersebut tidak mungkin digantikan oleh peran laki-laki sebagai ayah. Anak belajar sejak masih dalam kandungan hingga lahir. Anak belajar mengenali suara dan emosi si ibu, bahkan penelitian oleh University of Washington, perempuan (dalam hal ini ibu), menurunkan gen kecerdasan lebih banyak karena perempuan memiliki dua kromosom X. Ayah hanya memiliki satu kromosom X. Kromosom inilah yang menentukan fungsi kognitif seorang anak.

Rangsangan dan stimulus terbaik bagi anak adalah figur yang lekat dengannya. Hal ini akan mempengaruhi aspek emosi anak ke beberapa generasi sesudahnya. Bagaimana jadinya kalau anak yang berhak mendapat kasih sayang ibu malah tidak mendapat porsi cukup karena ibu harus bekerja (baca: wanita karier). Meskipun wanita di rumah, tidak ada dalil yang melarang wanita mengaktualisasi dirinya. Bisa dengan menulis, membuka online shop, berkreasi dengan barang-barang bekas, dan sebagainya.

Jauh sebelum ide feminisme muncul Islam telah memuliakan kaum perempuan dalam hal penghormatan orang tua, dimana “Ibu” disebutkan tiga kali baru kemudian ayah. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari berikut:


“Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)


Tetapi seribu sayang sungguh sayang feminisme yang digaungkan Barat justru seringkali mendesakralisasi nilai-nilai yang berpihak pada perempuan, utamanya Islam. Aturan jelas tentang penutupan aurat, hubungan antara pria dan wanita, kedudukan wanita, bahkan wanita yang terpaksa bekerja, kerjanya dihitung sedekah. Mengapa perlu ada paham feminisme yang bukannya melengkapi Islam tapi malah mengaborsi nilai Islam.

Mengharmonikan Islam dan Feminisme, Mungkinkah?

Masih kuat…? Baik kita lanjutkan sembari menikmati wedang uwuh masing-masing. Seperti yang sudah saya paparkan di awal sekali bahwa ada sebagian orang yang hendak mendamaikan Islam dengan feminisme. Lantas hal tersebut mungkinkan? Islam secara tegas telah merespon feminisme dengan santun namun tak sepenuhnya sepakat dengan ide-idenya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun