Tidak perlu mengimport istilah dari Barat yang sekuler. Apalagi Islam telah memiliki ajaran dalam Al-Qur’an yang lebih sempurna dibanding feminisme dari Barat.
Gimana masih mau lanjut? Kalau mumet rebahan dulu gih, he...he..he..
Kita lanjutkan, pada era Perang Dunia II, kurang lebih dari 6 juta perempuan harus bekerja diberbagai sektor yang selama ini di kerjakan oleh laki-laki. Why? Jelas kekurangan SDM lah yaw, kan para lelakinya pada pergi perang. Jadinya perempuan dan anak-anak "diperintah" secara lembut oleh para kapitalis untuk masuk bursa kerja.
Selanjutnya momen itu dipercantik sebagai “Emansipasi Wanita”. Nggumun? Ya jangan terheran dulu, sejarah kan tergantung siapa yang nulis. Tahun 1920-an Virginia Wolf mengeluarkan buku berjudul A Room For One’s Own yang secara harafiah menuntut kesetaraan hak bagi perempuan dan menolak sub-ordinasi pria dan wanita.
Terus gerakan feminisme di Indonesia bagaimana? Ini pertanyaan yang perlu dijawab karena ada seruan polemik yang berkembang di kalangan feminisme maupun yang anti feminis. Semisal seruan: “Lha kalo bukan feminis, jasanya R.A Kartini, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, dan lainnya disebut apa?” atau “Oh, anti feminis? palingan tipe perempuan yang doyannya di rumah aja, manja, dan cuma ngurus dapur sama kasur.” atau ada pula yang menyatakan, “Lah buat apa sekolah sampai sarjana bahkan doktoral kalau ujungnya cuma jadi ibu rumah tangga”
Woy… woy…nggak usah ngegas, mari kita bahas pelan-pelan. Seruan dan pernyataan di atas hanyalah sekelumit dari logical fallacy netizen yang kerap berseliweran di dunia maya.
Feminisme di Indonesia
Gerakan feminisme yang berkembang di Indonesia berawal dari isu budaya domestik sendiri. Definisi ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks budaya daerah masing-masing sudah berbeda. Namun, kenapa yang paling membekas di benak hati dan pikiran soal kesetaraan perempuan di Indonesia adalah R.A Kartini?
Menurut hemat saya, karena R.A Kartini adalah orang Jawa berdarah bangsawan dan mempunyai privilege dan kemudahan akses kedalam budaya Barat. Anggapan bahwa R.A Kartini adalah satu-satunya pemantik emansipasi wanita dalam ranah publik di Indonesia tidak sepenuhnya benar. Pernah mendengar nama Sultanah Dannir?.
Sultanah Dannir, perempuan tercatat memimpin daerah Aceh sekitar abad 14 Masehi (tahun 781 H/ 1389 M). Namun, Sultanah ini tidak memerintah seluruh kawasan Samudra Pasai. Sejarawan Aceh, Taqiyuddin Muhammad, menyebutkan bahwa Sultanah Dannir hanya memerintah wilayah Pasai dan Kadah (kini Kabupaten Aceh Utara). Perempuan lainnya adalah Siti Raham binti Rasul Endah Sutan, istri dari Buya Hamka seorang sastrawan, politikus, juga cendekiawan yang mahsyur di era Orla dan Orba. Buya Hamka banyak berdiskusi dan meminta pendapat dari istrinya tentang keputusan apa saja yang diambil dalam kiprah politiknya.
Beberapa fakta sejarah di atas mematahkan argument bahwa kaum perempuan hanya identik dengan urusan domestik, seperti masak, sumur, dan kasur. Serta menampik argument bahwa perempuan menjadi lapisan kedua dalam masyarakat. Namun, ada saja yang masih mendeskriditkan peran ibu ramah tangga dibandingkan perempuan yang bekerja karir. Hal ini sering kita jumpai dalam postingan pro feminisme di berbagai akun sosmed.
Femininisme dalam Islam