Mohon tunggu...
Rio Estetika
Rio Estetika Mohon Tunggu... Freelancer - Dengan menulis maka aku Ada

Freelancer, Teacher, Content Writer. Instagram @rioestetika

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengakrabi Kegagalan

23 Februari 2020   06:30 Diperbarui: 23 Februari 2020   06:41 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadikan kegagalan sebagai kekuatan adalah persoalan pola pikir dan sudut pandang. Berprasangka baik dan akrab dengan keadaan dapat menjadi terapi pertama ketika frustasi dirundung dengan kegagalan bertubi. Keberanian untuk menerima situasi kehidupan salah satunya dengan cara berani untuk gagal. Karena kegagalan menjadi bagian proses pencapaian impian itu agar penuh makna dan mendatangkan pembelajaran kehidupan untuk diri sendiri dan orang lain.

Banyak yang mengatakan hidup adalah pilihan. Merespon kegagalan juga merupakan pilihan. Memilih respon yang tepat dalam situasi kegagalan. Kita bisa memilih untuk berani akrab dengan kegagalan sehingga ada dorongan terus maju mengurai kegagalan bersama ikhtiar baru untuk mencapai impian. 

Atau kita memilih untuk takut dan cemas sehingga tidak akan mampu lagi melakukan eksplorasi diri untuk kehidupan. Hingga kekecewaan menghampiri, karena membandingkan pencapaian orang lain yang berani melewati proses kegagalan.

Selekta kisah tentang Ferdian, sahabat yang banyak menginspirasi. Kami satu kelas selama 3 tahun di SMA. Bagi saya Ferdian adalah sosok yang sederhana, supel, ramah, dan sopan. 

Hari-hari semasa di sekolah kami alami seperti kebanyakan anak remaja lainnya, terkadang nongkrong, mendiskusikan mata pelajaran, atau gadis cantik di sekolah. Tibalah di penghujung semester dan pengumuman kelulusan yang selama ini membuat dada sesak berdebar. Keyakinan kami saat itu ketika membuka lembar kertas pengumuman tertulis kata "LULUS".

Hari Jumat siang, seluruh siswa berkumpul membuka kertas pengumuman. Gemuruh ucapan, "Alhamdulillah lulus", terdengar ke seluruh penjuru sekolah. Kami bersorak, berpelukan,wajah sumringah. Nun jauh dari halaman sekolah bukan wajah itu yang kutemukan pada Ferdian.

Wajahnya lesu, terisak lirih, bibirpun tak berdaya mengucapkan kata. Ku ambil secarik kertas yang diremas olehnya, di sana kutemukan kalimat yang tidak pernah kami harapkan, "TIDAK LULUS" aku turut terisak memeluknya. Jelas dia rapuh dan frustasinya dia, mungkin baginya saat itu dunia tidak adil, dan situasi kehidupan begitu kejam kepadanya.

Esok harinya aku mendapat kabar bahwa Ferdian mengalami kecelakaan. Menurut saksi mata, Ferdian tidak memperhatikan kendaraan ketika menyeberang, ia seperti melamun. Aku tahu persis apa yang ia lamunkan, pengumuman tidak lulus pasti membebani dan membuatnya frustasi. Kuputuskan untuk menjenguknya di rumah sakit. 

Ferdian mengalami luka gores dan lebam di sekitaran wajah, tulang kaki kanannya retak. Seminggu aku bolak-balik rumah sakit menjenguknya, tak sepatah katapun ucapan keluar dari mulut Ferdian. 

Ia tak mau meminum obat dari dokter. Makanan tak dimakannya, kecuali sedikit saja. Bahkan terapi untuk kakinya, dokter dan orang tuanya bersusah payah membujuknya. Seolah ia telah kehilangan semangat untuk sembuh, baginya dunia sudah berakhir hanya dengan kata "TIDAK LULUS".

Orang tua Ferdian memutuskan membawanya pulang untuk rawat jalan saja. Mengingat biaya rumah sakit semakin membengkak dan Ferdian tidak ada semangat menjalani perawatan. Ayahnya  beralih ke pengobatan tradisional untuk menyembuhkan Ferdian, kebetulan paman Ferdian ahli dalam penyembuhan tulang secara tradisional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun