Mohon tunggu...
Hartanto Sanjaya
Hartanto Sanjaya Mohon Tunggu... -

follow me @ my indexsite (http://hartantosanjaya.name)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjadikan "Hormat" dan bukan "Takut"

29 Desember 2010   05:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:15 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1293600091782596585

[caption id="attachment_82202" align="alignleft" width="300" caption="Karena menghormati diri sendiri"][/caption] Saat kita ditakuti atau dihormati adalah posisi dimana perlakuan orang lain terhadap diri kita terlihat serupa. Tetapi kita tahu bahwa kedua kelakuan tersebut mempunyai arti yang sangat berbeda. Perbedaan arti keduanya sangatlah jauh walaupun, sekali lagi, perbuatan yang terlihat hampir sama atau serupa. Tanpa perlu jauh-jauh, kita bisa lihat ke lingkungan terdekat kita, dalam keluarga. Saat si anak akan melakukan kesalahan atau perbuatan tidak baik maka pengasuh (bisa siapa saja) cenderung memudahkan larangan dengan mengatasnamakan sesuatu yang ditakuti oleh si anak tersebut. "Anto, jangan makan sambil tiduran..! Nanti dimarah Ibu..!" Pada kalimat larangan diatas jelas bahwa pesan tersebut mengatasnamakan "Ibu" sebagai orang yang ditakuti oleh Anto. Kemarahan Ibu segera terbayang di pikiran Anto sehingga ia memikir ulang apakah berani melawan marahan Ibunya atau tidak. Jika ia berani, maka perbuatan "makan sambil tiduran" tetap dilaksanakan. Tetapi jika ia tidak berani akan marahan ibunya nanti, maka ia segera mengurungkan perbuatannya. Tetapi jika kalimat larangan tadi diubah menjadi: "Anto, jangan makan sambil tiduran, nanti kamu bisa tersedak, tenggorokan akan terasa sakiiit..." Reaksi anak cenderung akan memikirkan akibat dari perbuatannya. Jika ia belum pernah merasakan, maka ia dapat mengabaikan larangan tadi. Tetapi jika ia sudah pernah merasakan tersedak, tentunya ia segera berpikir bahwa tersedak itu sangat tidak enak, dan ia akan mengurungkan perbuatannya. Disini anak akan merasa dihormati karena tidak ada yang harus ditakuti, dan diberikan pilihan sesuai dengan kondisi yang akan dialaminya sendiri. Contoh lain adalah, misalnya, saat anak tidak mau belajar. Banyak pengasuh atau pendamping (sekali lagi, pengasuh bisa siapa saja) yang memberi ancaman. "Anto, ayo segera matikan TV dan belajar. Sebentar lagi Ayah datang, Kalau lihat kamu masih nonton TV Ayah pasti marah". "Ayah" menjadi bahan untuk menakuti si anak agar segera mematikan TV dan belajar. Anak akan menganggap kemarahan akan segera muncul saat mana ia masih nonton TV ketika ayahnya pulang. Rasa takutlah yang akan muncul dan menjadi pendorong untuk mematikan TV dan memulai belajar. Apa yang terjadi jika sang Ayah sedang dalam tugas kerja dan beberapa hari tidak di rumah..? Apakah si anak mau untuk tertib waktu dan belajar dengan benar..? Kebiasaan kita untuk memberi penekanan "takut" daripada "hormat" pada orang lain, khususnya anak atau adik kita sendiri, memang suatu yang terlalu sering terjadi. Kita lupa atau tidak mau repot untuk memberi pengertian tentang larangan atau anjuran atas sesuatu. Sangatlah gampang hanya dengan mengatasnamakan sesuatu yang ditakuti oleh obyek kita, sehingga kita bisa segera lepas tangan dengan harapan "masalah segera selesai". Memberi pengertian akan "substansi" dari larangan atau anjuran memang memerlukan energi (baca: usaha) yang lebih. Kadang memang tidak ampuh untuk menyegerakan keinginan kita terlaksana. Tetapi kebiasaan ini akan tertanam pada obyek kita tersebut untuk selalu melihat "takut" dan "tidak takut". Hal ini, kemudian, akan sangat tergantung pada keberadaan "yang ditakuti". Seandainya kita mau sedikit saja menerangkan akan tujuan larangan atau anjuran kita, tentunya dengan gaya bahasa masing-masing, maka obyek kita akan merasa dihormati. Penghormatan akan dirinya sendiri untuk memilih. Dan hal ini sangat tidak tergantung keberadaan siapapun kecuali tanggungjawab akan dirinya sendiri dalam melaksanakan sesuatu. "Anto" akan makan dengan posisi yang baik, ia tidak akan makan dalam posisi tiduran dimanapun ia berada, atau dimanapun Ibunya berada. "Anto" pun akan senantiasa mematikan TV dan belajar jika memang waktunya ia belajar, tanpa perlu menunggu kedatangan dan kemarahan ayahnya. Penghormatan akan diri sendiri jauh lebih kuat dan "kekal" dibandingkan dengan rasa takut karena ancaman pihak lain. Dan hal ini akan menjadi pola pikir positif dari anak, adik, atau bahkan diri kita sendiri saat mana melakukan aktivitas dimanapun kita berada. Dan dalam suatu unit keluarga pengertian antara Ayah dan Ibu akan pemahaman "hormat" dan "takut" ini tentunya harus seirama, agar semua yang ada dalam keluarga tersebut dapat terjangkiti semangat positif yang sama pula. Bisa kita mulai sekarang..? : ) */ sumber gambar: My Kids My Choice.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun