Mohon tunggu...
Sotardugur Parreva
Sotardugur Parreva Mohon Tunggu... -

Leluhurku dari pesisir Danau Toba, Sumatera Utara. Istriku seorang perempuan. Aku ayah seorang putera dan seorang puteri. Kami bermukim di Jawa Barat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Urun Rembug Mengenai NKRI Harga Mati

26 Agustus 2017   20:36 Diperbarui: 30 Agustus 2017   11:10 1075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Bahagia rasanya bila bertemu dengan orang yang mengerti dengan apa yang disampaikan oleh pasangan diskusinya. Penulis mencoba memaknai tulisan Aamir Darwis dengan tajuk Saya Bertanya kepada Indonesia Tentang NKRI Harga Mati,Penulis tuliskan berikut ini. Mungkin banyak isi tulisan itu yang Penulis tangkap secara salah, maklumkan saja, itu karena keterbatasan wacana dan kepustakaan. Penulis masih harus belajar yang banyak.

Menurut dugaan Penulis, sebagian besar rakyat Indonesia 'nekat' bernegara Indonesia adalah 'nekat' terpaksa, alias tidak punya pilihan lain. Pun jika memaksa memilih bernegara yang lain, justru membutuhkan sumber daya yang jauh lebih banyak, seperti ongkos menuju negara lain, atau biaya membiayai suatu revolusi mengubah Indonesia, atau mendirikan negara baru. Ada juga yang masih tetap bernegara Indonesia, seperti Penulis misalnya, bukan karena 'nekat', melainkan karena menilai sangat cocok dengan Indonesia yang berdemokrasi Pancasila. Bangga menjadi bagian dari bangsa dan negara ini.

Kupikir, kenaikpitaman atas keterbalikan bendera merah putih oleh negara lain, bukan satu-satunya parameter atas kecintaan pada Indonesia. Juga, diam membisu atas maraknya korupsi oleh wakil rakyat atau pemangku kekuasaan bukan parameter tunggal atas kecintaan pada Indonesia. Menurut pendapat Penulis, kecintaan pada Indonesia ditandai dengan memerankan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya. Bahasa kerennya, harus berintegritas.

Dalam hal mengetahui ada keterbalikan bendera oleh negara lain, cukup menginformasikannya kepada pihak yang kiranya berwenang menyampaikan protes, agar pihak yang salah memperbaiki kesalahannya, dengan menanggung sanksi sebagai konsekuensi kesalahan. Dalam hal mengetahui ada keterbalikan bendera oleh saudara sebangsa setanah air, segera mengusulkan agar dibaiki, atau jika tidak, langsung memperbaiki sendiri. Dalam hal mengetahui ada koruptor, laporkan ke instansi berwenang, yang kompeten mengusut dan menjatuhkan sanksi. Namun, memang ada resiko perlawanan dari pihak yang melakukan kesalahan. Nah, untuk itulah, menurut Penulis, perlu integritas sebagai seorang warga negara.

Sampai sekarang, sepanjang pengetahuan Penulis, mantan warga negara Indonesia yang konon sudah menjadi warga asing itu, namun mengetahui dan memiliki informasi kunci dalam kasus mega korupsi KTP-el, masih menyimpan misteri. Dia bunuh diri, atau dibunuh? Belum jelas bagi logika Penulis. Yang ingin Penulis sampaikan, mengingat usia orang itu terbilang masih muda dan sehat, dan ditemukan meninggal dengan luka tembak, lepas dari menembak diri sendiri atau ditembak orang lain, sulit mengabaikan keterkaitannya dengan kepemilikan informasi mega korupsi KTP-el. Nah, yang begitu itu, menurut Penulis adalah resiko. Masing-masing orang harus mengukur resiko yang akan ditanggungnya, dibanding dengan integritas dalam berbangsa dan bernegara. Karena orang itu sudah mengganti kewarganegaraannya, patut diduga bahwa integritas kebangsaan atau kewarganegaraan orang itu tidak begitu tinggi.

Kembali ke kecintaan kepada Indonesia, kupikir, secara kodrati, negara memang harus diskriminatif. Tidak direkayasa, memang negara diskrimnatif kepada warganya. Negara harus lebih mengutamakan menjaga keselamatan pegawainya daripada keselamatan warga negara biasa. Negara harus lebih mengutamakan warga yang mencintai dan membela kedaulatan negara secara tulus daripada terhadap warga yang berpura-pura mengatasnamakan kecintaan pada kedaulatan negara namun mempunyai agenda terselubung.

Tentang pemimpin di negeri ini, kupikir, tingkatannya lebih tinggi daripada pemimpin daerah. Di daerah saja, dinamakan pilkada (pemilihan kepala daerah), berarti memilih kepala daerah, atau pemimpin di daerah. Jadi, pemimpin di negeri ini adalah Presiden sebagai Kepala Negara. Sistem pemilihannya, yang dianut sekarang adalah pemilihan langsung, maka  Presiden adalah pemimpin negara atau Kepala Negara yang dipilih oleh rakyat. Pun jika secara filosofis dimaksudkan kepemimpinan di tangan rakyat, bahwa rakyat sudah menyerahkan wewenang kepemimpinannya kepada orang yang dipilih pada saat pemilihan umum. Pemimpin yang terpilih melaksanakan kepemimpinan berdasarkan  kewenangan yang diberikan rakyat melalui aturan main yang disepakati.

Tentang ketuaan Negara Indonesia dengan Bangsa Indonesia, kupikir, sama saja. Meski bangsa Indonesia sudah lebih dahulu disebut-sebut daripada negara Indonesia, penyebutan itu masih berupa cikal-bakal. Bangsa dan negara Indonesia itu resmi dan diakui sebagai bangsa dan negara, adalah setelah diproklamasikan. Maka, pada peringatan hari ulang tahunnya, 17 Agustus lalu, Indonesia merayakan hari ulang tahun yang ke-72. Bangsa Indonesia, dan NKRI berumur 72 tahun, meskipun cikal-bakal NKRI, sudah ada sejak dahulu kala.

Tentang mengadopsi sistem pemerintahan dari penjajah, kupikir, sistem pemerintahan bukan milik satu kelompok manusia tertentu saja. Maksudku, suatu sistem, bebas merdeka hendak diaplikasikan oleh siapa saja. Tergantung pada pilihan kelompok manusianya. Jadi, suatu sistem pemerintahan, walau dirancang oleh kelompok tertentu, bebas, hendak dianut oleh siapapun.

Adalah benar, sistem pemerintahan sudah dikenal oleh kelompok-kelompok kerjaan yang pernah berdiri di wilayah Nusantara dahulu, yang sekarang dikenal sebagai wilayah Indonesia. Sistem pemerintahan Sriwijaya, Majapahit, Mataram, dan lain-lain itu, adalah sistem monarki (kerajaan). Sepintar, bijak, kuat, hebat apapun seseorang, tidak dimungkinkan menjadi pemegang kekuasaan apabila secara genetis bukan keturunan ningrat. Sebaliknya, sepandir, naif, lemah, bersahaja apapun seseorang, bila secara genetis dia adalah keturunan raja, dialah pewaris tongkat kepemimpinan kerajaan. Betapa tidak adilnya, jika negara sebesar Indonesia dipimpin oleh seorang pemimpin hanya karena di tubuh orang itu mengalir darah penguasa sebelumnya. Maka, agar pemegang kekuasaan itu adalah yang diakui dan diterima oleh sebagian besar penduduk, itu pula yang dilakukan dengan pemilihan Presiden.

Kupikir, sistem monarki yang 'mendewakan' golongan tertentu (ningrat), tidak akan mendamaikan penduduk Indonesia yang terdiri dari ratusan suku-bangsa. Sistem demokrasi seperti yang dianut oleh Indonesia pada pemilihan Presiden tiga periode terakhir, menurut pendapatku, adalah metode paling cocok. Disadari atau tidak, metode seperti itu adalah wahyu Tuhan Yang Maha Esa kepada para pendiri bangsa ini, memilih sistem demokrasi dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Walaupun sistem tersebut merupakan buah pemikiran orang asing, bila cocok untuk kita, dan bebas diterapkan (tidak membayar royalti atau paten), apa salahnya? Jepang yang sudah remuk redam tahun 1945 dilibas oleh bom atom, bangkit dan berjaya karena peniruan-peniruan atas berbagai sistem dari luar Jepang. Apakah karena gengsi meniru, lantas kita berhenti mengambil suatu kebaikan padahal sistem itu cocok untuk kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun