Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengadili Pemimpin Siluman

2 Agustus 2014   13:53 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:37 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah ada apa tidak sistem pengadilan di negara para siluman. Kalau tidak ada, lalu bagaimana bisa diciptakan rasa adil di negara para siluman itu. Pasti ada sistem yang mempertimbangkan bagaimana rasa keadilan itu akan diberlakukan di masyarakat sehingga kehidupan masyarakat siluman itu bisa berlangsung adil, tentram dan damai.

Kalau sistem pengadilan itu ada, maka pertanyaan berikutnya bagaimana cara mengadili seorang siluman? Bagaimana bisa meyakinkan bahwa siluman tertentu yang bakal diadili? Masalah terbesar dan terberat di negara para siluman tentunya mengindetifikasi bukti diri si siluman itu. Wong namanya saja siluman, bagaimana mungkin bisa diidentifikasi? Pagi dele sore tempe, begitu istilahnya.

Ternyata keadilan di negara siluman pun termasuk jenis keadilan siluman. Keadilan yang gampang berubah.

Perselisihan di negara siluman pun juga tak benar-benar terjadi. Perselisihan hanya bersifat siluman juga. Pagi berselisih, sorenya sudah membentuk kongsi. Dan banyak hal lagi yang sifatnya siluman. Hukum, pers, gaji, agama, status, kehormatan dan sebagainya. Kecurangan dan juga kejujuran termasuk di dalamnya. Para siluman akan kesulitan membuktikan mana yang dianggap kecurangan dan mana yang dianggap sebagai sesuatu yang jujur. Semua bisa berubah. Meski dalam mempertahankan pendapatnya nampak serius dan benar-benar saling adu mulut dan bahkan adu otot, tapi semua hanya siluman.

Lalu bagaimana para siluman itu bisa hidup tenang dan tentram di negara yang penuh siluman? Setelah berada di negara siluman, para siluman belajar tentang keadaan. Senjata yang paling sering mereka gunakan adalah dengan bersikap masa bodoh dan tidak percaya pada siapapun. Semua adalah kepura-puraan. Itulah yang paling dipercaya jika menghadapi masalah dalam banyak hal. Tidak ada yang benar-benar terjadi. Semua hanya pura-pura. Tujuan akhirnya tidak penting. Apa yang hendak dicapai dengan kepura-puraan itu juga tidak penting. Tidak ada tujuan atau ada tujuan, akhirnya sama saja. Tidak ada yang bisa dipegang omongannya. Tidak ada yang bisa dijadikan pegangan. Kalau ada yang bilang bahwa aturan x adalah pegangannya, pastilah pembohong atau mungkin hanya berpura-pura seolah ia yang paling benar.

Mereka hidup dan mengerjakan sesuatu yang hanya menyangkut kebutuhan sendiri. Seolah dunia telah terpilah-pilah secara alamiah buat mereka. Semua mencari jalan sendiri dan menyelesaikan segala sesuatunya yang terbaik menurut pendapat mereka sendiri. Thuyul hanya mikir bagaimana mencuri uang, si pocong hanya mikir bagaimana menakut-nakuti orang di tempat-tempat yang dekat hunian manusia, gendruwo juga menakuti-nakuti orang tapi di tempat-tempat yang kosong penuh pohon lebat jauh dari hunian manusia, glundung pecek menakuti-nakuti hanya boleh dengan kepalanya, dhemit tugasnya bikin sesuatu jadi jahat dan seterusnya.

Mereka punya kehidupan dan tugasnya sendiri-sendiri. Tidak tumpang tindih agar terjaga keselarasan dan perdamaian. Thuyul tidak boleh menakut-nakuti orang, karena hanya akan diterwakan. Pekerjaan itu bukan bidangnya. Demikian juga si pocong tidak mungkin bisa mencuri uang. Ia bukan akhlinya. Hanya ada satu aturan yang disepakai bersama. Mereka tahu di dunia mereka ada aturan, tapi mereka tak mau tahu lebih dalam lagi. Dan memang tidak penting untuk tahu. Aturan itu adalah mereka tahu bahwa semua aturan adalah siluman.

Demikianlah para siluman itu menjaga dunianya agar tetap berlangsung damai. Aturan dhemit hanya berlaku buat para dhemit, aturan pocongan hanya berlaku di dunianya para pocongan, aturan gendrowo hanya berlaku di dunianya gendruwo. Dan seterusnya. Jika aturan thuyul diterapkan pada gendruwo bakal tidak bisa jalan. Kalau nampak bisa jalan, itu hanya pura-pura. Pasti ada tujuan akhirnya. Pasti ada apa-apanya. Pasti ada conflict of interestnya. Pasti ada siluman lainnya.

Pemilu tidak hanya terjadi di dunianya manusia, tapi juga terjadi di dunia para siluman. Tapi pemilu kali ini agak beda. Biasanya pemilu selalu berlangsung tenang, tapi kini membuat gaduh di banyak tempat. Para thuyul ramai, para pocongan saling debat, dunia gendruwo saling caci. Pada pemilu-pemilu sebelumnya tidak pernah terjadi suasana kayak ini. Siapapun presidennya, para siluman itu cuek bebek. Presidennya bisa thuyul, gendruwo, banaspati atau ongklek-ongklek tidak ada yang menggubris.

Kali ini lain karena yang mencalonkan diri sama-sama tidak diketahui dari siluman mana. Dan ini membuat kisruh. Pada mulanya tidak masalah karena semua siluman mengabaikan. Tapi setelah masing-masing calon pemimpin itu berkampanye, barulah para siluman menaruh perhatian dan ikut terseret.

Calon pemimpin itu bersaing ketat berebut pengaruh. Saking ketatnya, kampanye hitam tanpa canggung dan risih digelontorkan demi merebut suara. Entah yang memulai siapa dan dari pihak mana. Pemilu yang biasanya tenang itu kini gaduh. Bagai benang ruwet. Beredar isu macam-macam yang nggak jelas mana kepala dan ekornya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun