Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Telah "Kepaten Obor"?

14 April 2022   02:33 Diperbarui: 14 April 2022   02:41 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam sebuah keluarga besar, biasanya ada figur yang menjadi magnet bagi semua anggota keluarga yang mendorong untuk bertemu dan berkumpul bersama.  Di manapun keluarga besar itu, pasti ada figur utama yang menjadi perekat ikatan kekeluargaan.

Anggota keluarga bakal merasa nyaman untuk bertemu dengan anggota keluarga lain karena adanya figur utama tersebut. Mereka tidak merasakan kecanggungan saat bertemu dengan keluarga lain karena adanya figur utama tersebut.  Lebih jauh lagi, sepertinya semua anggota keluarga berusaha menempatkan diri sebaik mungkin di depan keluarga lain karena adanya figur utama tersebut.  

Nilai-nilai yang melekat pada figur utama itu dipertahankan dan mengorbankan nilai-nilai lain yang mereka bawa. Semua yang berkumpul tahu mana nilai-nilai yang harus diperankan oleh masing-masing.  Nilai-nilai yang telah mereka kenal dengan baik. Nilai-nilai yang mereka setujui bersama itu membuat mereka lebih nyaman untuk saling berinteraksi.  Semua bergerak di seputar nilai-nilai yang melekat pada figur utama.

Dalam keluarga Jawa, figur utama atau figur yang diutamakan itu disebut "obor" atau pelita.  Obor? Karena di situlah cahaya bersinar.  Sumber kehangatan. Sumber penerangan. Tempat yang nyaman untuk ngumpul. Seperti serangga di malam hari yang selalu mencari sumber cahaya untuk bertemu dan kawin.

Figur utama tidak harus orang tua, tapi memang kebanyakan orang tua atau yang dituakan. Seseorang bisa menjadi obor keluarga bila dia bisa mengikat semua anggota keluarga dengan nyaman dan netral. Bisa memperlakukan semua anggota keluarga dengan adil. Figur utama harus kenal dengan nilai-nilai keluarga. Nilai-nilai yang terinternalisasi dengan baik sehingga merasa nyaman untuk berada di sekitar figur utama tersebut.

Jika figur utama ini meninggal, maka kemungkinan besar secara berangsur ikatan antar-keluarga akan melemah. Mulailah antar-keluarga jarang berkumpul. Maka diistilahkan sebagai "kepaten obor". Obor telah dimatikan. Tak ada lagi tempat untuk datang dan berkumpul. Serangga pun tidak bakal terundang untuk datang karena tak adanya cahaya.  Bila ada kemauan untuk berkumpul, maka hanya beberapa anggota saja yang berusaha untuk itu. Mereka mencoba untuk mengenang atau mengembalikan nilai-nilai yang mereka kenal bersama. Tapi mereka bukan obor. Sinarnya tidak seterang obor yang sebenarnya. Hanya berkedip-kedip bahkan redup. Cahayanya tidak terlihat dari tempat kejauhan.

Kehidupan Bernegara

Bagaimana dengan kehidupan bernegara kita? Apa yang menyatukan kita sebagai bangsa? Sesuatu yang kita hargai dan letakan dalam posisi tertinggi sebagai suatu yang mengikat kebersamaan kita?  Adakah sesuatu yang mengikat kita semua untuk berkumpul, menyatukan kita semua sebagai anak bangsa? Mengorbankan nilai-nilai diri dan meleburkan bersama pada nilai-nilai yang kita setujui bersama? Adakah yang menjadi panutan agar kita secara sukarela menyatukan diri pada nilai-nilai bersama itu?

Dalam masyarakat tradisional, figur kepala suku, tokoh agama, pemimpin adat, menjadi obor bagi masyarakat sekitarnya. Dalam cakupan wilayah yang lebih besar ada raja.  Tokoh-tokoh itu dikenal sebagai figur yang mempertahankan nilai-nilai dan memberlakukan sanksi bagi pelanggarnya. Jika wilayahnya itu disebut negara, maka selain raja, ada pemimpin yang kharismatik atau bahkan diktator, yang bisa mengikat elemen masyarakat pada nilai-nilai yang "disetujui" bersama.

Pada masyarakat barat (modern), figur utama itu tidak lagi diletakkan pada manusia, tapi lebih pada hukum tertulis atau aturan-aturan rasionil yang disetujui bersama. Orang bisa saja tidak menaruh hormat pada polisi atau jaksa dan hakim, bahkan presiden, tapi mereka tetap menghormati hukum. Hukum yang berlaku secara egaliter dan mengikat semuanya. Karena figur itu tidak berasosiasi dengan manusia, maka kasus "kepaten obor" bakal tak terjadi kecuali negara itu bubar atau mengalami perombakan total lewat sebuah revolusi.  Jika ada figur yang kharismatik, maka hanya nilai plus dalam negara itu dan bukan sebagai pengganti aturan tertulis yang berlaku.  Ia hanya menguatkan saja.

Apakah UUD 45, Pancasila atau Sumpah Pemuda telah menjadi perekat kita bersama? Adakah tokoh kharismatik yang secara nasional bisa menjadi perekat kehidupan kita bersama?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun