Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Katarsis Nasional

28 Desember 2018   08:21 Diperbarui: 28 Desember 2018   08:41 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bagiku, pilpres itu sekedar katarsis. Wadah untuk melakukan pemurnian dan pencucian kembali segala nilai. Ajang bersama meninjau kejiwaan kita, menempatkan nafsu-nafsu yang tak bermanfaat dan berlebihan pada tempat semestinya. Meninjau kembali nilai-nilai kebangsaan kita.

Setiap lima tahun merupakan periode waktu yang tepat untuk melakukan katarsis nasional. Kita tahu bahwa jabatan presiden dibatasi hanya lima tahun. Pergantian itu tak terelakkan. 

Siapapun presidennya, suka atau tidak; pro atau kontra; berprestasi seperti yang kita harapkan atau tidak, ia akan tetap diganti lewat pilpres dan kemudian menjadi bagian sejarah dari kebangsaan kita.

Kenapa kita ribut? Apa yang kita ributkan? Bukankah itu pesta demokrasi? Pesta bagi kita semua? Pilpres memang harus ribut. Semakin ribut makin baik. Makin banyak yang terlibat makin baik. Makin banyak yang tertarik perhatiannya makin baik. Berarti tujuan utama pilpres makin mengena sasaran, yakni fungsi katarsis nasional itu.

Pilpres itu kayak bersih desa. Nanggap ludruk, wayang, ketoprak atau kesenian rakyat lainnya. Meski ceritanya sudah diketahui atau bisa diduga akhirnya, orang tetep nonton juga. Bawa kacang klici, klethikan dan sorak-sorak kalau perlu. Bahkan menghujat, memuji, mengejek, keplok-keplok, suit-suit.

Kita akui atau tidak, pilpres 2019 ini paling seru, paling urgent, paling menentukan masa depan bangsa kita. Banyak nilai ditawarkan. Banyak nilai diperdebatkan. Nilai-nilai itu sedemikian gencar disodorkan lengkap dengan dalil dan dalihnya. 

Dari yang mulai ecek-ecek hingga nilai adiluhung. Bahkan nilai-nilai yang selama ini mengendap di bawah sadar kita, juga diangkat dipermukaan. Tumpek brek. Dipertarungkan dengan sengit.

Terlepas dari kubu mana yang menyodorkan, nilai yang ditawarkan menghantam dada kita. Banyak yang tak menduga bahwa hal-hal yang selama ini kita nilai tidak waras ternyata waras. Hal-hal yang dianggap hanya orang gila yang bisa melakukannya, ternyata banyak orang waras juga bisa melakukannya. 

Hal-hal yang kita kira tak masuk akal, ternyata masuk akal bagi sebagian banyak orang. Hal-hal yang kebalik ternyata bisa lurus. Hal yang lurus ternyata bisa bengkok. Hal yang biasa ternyata luar biasa. Ibaratnya, yang ngompol di celana pun dibela, dibenarkan, disanjung, dimaklumi. Sementara yang baru mau masuk wc dianggap pencitraan. Sepertinya orang ngompol di celana pun kalau mungkin diperbolehkan.

Nilai-nilai yang disodorkan itu diharapkan bisa mendapat persetujuan kita bersama. Nilai-nilai mana yang disetujui bersama dan bisa diambil serta mana-mana yang bisa ditinggalkan. Dan keputusan bersama ini sejalan dengan terpilihnya kembali presiden dan wakilnya nanti. Ketemu nilai pemenang mayoritasnya.

Selanjutnya tergantung pada presiden dalam memerintah. Mau memilah-milah nilai mana yang bakal diterapkan. Yang jelas, semua sudah merasa lega. Bisa kembali ke masing-masing dunianya dengan segala referensi personal yang didapatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun