Assalamu'alaikum,Â
Sahabat Kompasiana, entah mengapa tiba-tiba saya ingin berbagai rasa di sini tentang Ferdi Sambo.
Kesibukan kerja akhir-akhir ini  membuat saya absen di beberapa acara Teve yang biasa saya saksikan. Meskipun begitu hampir setiap hari saya menangkap nama Ferdi Sambo disebut-sebut, biasanya sih dalam tayangan berita. Lebih tepatnya di penggalan berita tentang persidangan Sambo. Kadang-kadang memang saya sempatkan untuk duduk sebentar mengikuti tayangannya. Selalu saya temukan sendu, duka yang amat dalam di paras yang mungkin sebelumnya garang. Begitu pula dengan Ibu Putri Candrawati, yang selalu sembab. Saya bisa memahami pastilah sesal yang tak pernah berujung selalu menyelimuti mereka.
Seperti malam ini, setelah lelah luar biasa menyelesaikan penulisan Resume 4 KBMN 28, tiba-tiba saja terlintas wajah keduanya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan keduanya, setelah mengetahui Ferdi Sambo, suami, ayah yang sangat dicintai dituntut seumur hidup. Begitu melelahkan mengikuti persidangan yang semakin hari semakin menyudutkan posisi Sambo. Betapapun ada pula di antaranya yang mengungkap kebaikannya, tetapi bagi keluarga Pak Sambo mungkin hampir-hampir caya itu tak ada lagi. Makin redup dan akhirnya lampus. Setitik saja harapan tiada. Saat-saat yang menakutkan telah tiba. Papa dan suami yang dikasihi sudah sampai pada putusannya.
Meski belum divonis, tetapi mendengar tuntutan itu pastilah tak terbayang hari-hari sunyi yang akan dilalui tanpa Panglima keluarga. Sesal memang selalu datang kemudian. Dan masa tak akan pernah berulang. Kebahagiaan dan canda ria itu tak akan pernah dijumpai lagi. Pelajaran yang amat mahal, teladan pahit yang harus ditelan. Manusia memang tak seharusnya menyamai kekuasan Tuhan. Hari-hari panjang harus siap dilalui dengan berbagai kemungkinan yang sulit dibayangkan. Akankah kuat melewatinya?Â
Sungguh, yang terbayang di benak saya adalah wajah-wajah memelas dari belahan jiwa, permata hati mereka. Si Kecil yang masih polos tertawa lucu, mencari sosok-sosok yang mungkin belum sempat dikenalnya. Ah..., tiba-tiba saja saya ingin berdoa. Tuhan, kuatkan mereka. Isilah hari-hari mereka dengan karunia-Mu yang menggembirakan. Â Jangan pupuskan harapan mereka. Karena Engkau pasti masih akan pertemukan mereka dengan masa depannya.
Sampai di sini, aku terdiam, tak kuasa melanjutkan. Sungguh, sebagai seorang perempuan, dan ibu, rasanya empat anak mereka itu sebagai anak saya juga. Andai saja saya ada di dekat mereka, dan mengenal mereka, ingin rasanya memeluk mereka satu per satu. Saya menyadari siapa orang tua mereka. Tetapi anak punya jiwanya sendiri. Mereka adalah ciptaan Tuhan yang ditakdirkan lahir dari keduanya. Mereka tetap berhak atas kehidupan yang bersih dari cacat cela. Jangan pandang mereka dengan sudut mata menghina. Bukan mereka yang harus menerima akibatnya. Biarlah Tuhan yang melanjutkan hidup mereka dengan segenap Keagungan dan Kebesaran Kasih Sayang-Nya.
Semoga Tuhan selalu menghibur mereka. Sebagai sesama hamba Allah, saya juga berdoa semoga pak Ferdi dan Ibu Candrawati diberi kekuatan, dilembutkan hatinya hingga bisa menerima dengan besar hati hukuman yang akan dijatuhkan sebagai pertanggungjawaban perbuatan mereka di dunia. Dan mudah-mudahan cahaya Iman menyadarkan mereka, menemukan jalan yang benar, menyesali perbuatannya, mendapatkan keringanan azab-Nya kelak di akherat. Begitupun dengan Jonathan, Brigadir polisi yang belum sempat nikmati buah pengabdiannya, mendapatkan ampunan-Nya dan tenang di alamnya.
Selamat malam Sahabat. Salam Literasi. Wassalamu'alaikum,Â