Mohon tunggu...
Uut63
Uut63 Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik UPGRIS

Sebagai seorang pendidik (sejak 1981), saya selalu ingin meningkatkan kualitas diri. terutama sebagai pribadi Muslim, saya sangat interest dengan berbagai ajaran yang mengajak ke jalan kebaikan, dan keselamatan dunia akherat. Di setiap tatap muka dengan mahasiswa, saya juga selalu mengingatkan akan hal ini. Di usia yang tidak lagi muda, saya ingin selalu bisa menebar kebaikan. Mudah-mudahan tidak saja bermanfaat untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk orang lain. Saat ini, saya sedang ingin membuktikan talenta pemberian Allah yang tidak saya sadari. Membaca, menyimak (mendengarkan dan memcermati), kemudian menuliskannya. Sesekali saya masih suka bergabung dengan teman, sahabat untuk menyanyi. Sembari menunggu anugerah Allah untuk bisa segera menuntaskan studi S3, saya ingin melakukan apa saja hal-hal yang bermanfaat. Setidaknya ini merupakan salah satu bentuk syukur pada-Nya. Semoga Allah ridla.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Perempuan yang Sulit Berkata "Tidak!"

23 Desember 2022   23:47 Diperbarui: 24 Desember 2022   00:38 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Assalamu'alaikum, Sahabat Kompasiana,

Membicarakan Ibu tak akan ada habisnya. Ibu memang sumber inspirasi. Tulisan 'Ibu di Dadamu Aku Menari', merupakan gambaran betapa Ibu begitu pandai menyembunyikan duka. Bagaimana teriris hati seorang Ibu mendengar rintih anaknya "Lapar." 

Dalam ketiadaan, dalam luka yang terus akan menganga, Ibu masih bisa ayunkan langkah, memutar, menari, demi menghibur anaknya. Ibu sebenarnya mengerti, sang buah hati lunglai di dada mendengar degup jantungnya lemah karena letih. Letih menapaki jalan terjal hidupanya. 

Nuraninya berteriak, mengapa tak ada peduli berpihak pada mereka. Mengapa napsu lauamah tak juga reda. Mengapa dia yang seharusnya memikul tanggung jawab tak putus mabuk durjana. Kenapa hanya dirinya yang menanggungkannya. Tidakkah ia diberi kabar angin tentang kelaparan anaknya?

Ibu terus saja menari, menghiburkan Buyung buah hatinya, yang kini justru pedih sesali diri. 'Tak seharusnya aku menjeritkan laparku' sesalnya yang terus merasai sakit karena rintik air mata ibu bagai palu menalu dirinya.

Sayup semilir lembut mengusap punggungnya. Ia terus bersandar di gendongan Ibu. Merasai jiwa berontak, membanggakan puteranya pada entah siapa yang tak jelas di mana. "Lihatlah kekar tangan anakmu in!. Ia akan ubah duniaku! Sementara kau akan terkulai lunglai, dimakan renta usiam. Kepapaan tiada daya tuk meraih cinta anakmu. Sesal tak kan berujung."

Pedih hatinya, degub jantung Ibu menalu jiwanya. Buliran hangat menganak sungai di dadanya. Adakah rasa sakit yang melebihi ini? Jiwanya terbakar. Semangatnya berkobar. Ia tak ingin Ibu terus menghiburnya dengan dendang kepalsuan yang melenakan, agar ia lelap senyap, lampus lapar. Ibu, lenyap sudah laparku.

Dan Ibu terus ayunkan kakinya yang letih, lemah. Menari, memutar, mengayun. Menenggelamkan diri dalam asa, moga Buyung tlah lelap dalam buai Bunda. 

Selamat malam Sobat. Beristirahat dalam bahagia. Penuh syukur. Salam Literasi! Wassalamu'alaikum,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun