Setiap jurnalis terikat oleh kode etik. Etika yang melingkupi pekerjaan jurnalis tak hanya berhenti pada proses peliputan seperti menolak amplop, tetapi juga pada saat penulisan atau pelaporan.
Saya terkejut dan sangat marah dengan beberapa tulisan viral oleh Ridho Permana di situs daring VIVA terkait seksisme terhadap para atlet perempuan Olimpiade Tokyo 2020.
Pemberitaan tersebut jelas melanggar beberapa pasal Kode Etik Jurnalistik, yaitu pasal ke-4 yang menyebutkan wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Kemudian pasal ke-2 mengenai wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik”.
Selain itu, juga pasal ke-8 dengan bunyi “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani.”
Alih-alih mewartakan kemampuan personal dan profesional para atlet, media tersebut justru lebih menyorot tubuh dan penampilan atlet dengan bumbu seksis dan komentar cabul. Pemberitaan yang sarat subordinasi ini merupakan bentuk diskriminasi gender.
Representasi perempuan di media seperti ini biasanya kembali ke ungkapan pembenaran bahwa media merefleksikan budaya masyarakatnya. Padahal cara tersebut justru semakin menguatkan situasi dan pemikiran masyarakat yang patriarkal.
Kondisi ini membuat perempuan harus berdiri sendiri melawan struktur yang membuatnya terperangkap dalam aksi marjinalisasi.
Perempuan Masih Dianggap Objek
Hingga sekarang seksisme masih saja melingkupi pemberitaan di media, salah satunya media daring. Demi mengejar trafik pembaca, masih banyak media daring memilih untuk membuat judul click bait yang sangat seksis.