Naskah Mentah yang belum diedit ketika mewawancarai Bonar Gultom (Gorga) Bonar Gultom yang lebih dikenal dengan nama Gorga adalah anak dari almarhum Julianus F. Gultom dan Marianna Naomas br Hutahuruk. Kepada saya selalu dipanggilnya tulang, karena Hutauruk dengan Lumban Gaol adalah satu group marga Naipospos. Ayahnya adalah mantan pensiunan camat. Menikah dengan Lela Ester Sitompul (67) pada tahun 1962, dan dikaruniai enam orang anak.
Di usianya yang tidak muda lagi (73-sepuluh tahun lalu) ini, dia masih aktif mengarang lagu. Tepat ketika ini saya dari majalah TAPIAN hendak mewawancaranya di rumahnya Jalan Ayahnda No 57, Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Pada 19 Oktober 2006. Hasil wawancara ini tak pernah diterbitkan, karena waktu itu Tapian mengganti tema lain, yang sebelum cetak perdana saya mewawancarainya. Maka hasil wawancara ini adalah murni bahan mentah, sekaligus orisinil. Banyak hal yang dia ceritakan; termasuk dia tak habis pikir kenapa ada orang Batak membakar ulos. Lalu kritiknya terhadap group trio-trio Batak, termasuk masukkannya untuk Vicky Sianipar.
Ket; TAPIAN = Hotman J Lumban Gaol (Hojot Marluga) GORGA= Bonar Gultom
Demikian petikannnya
TAPIAN; Apa sebetulnya hubungan turi-turian dengan opera Batak, ada nggak hubungannya?
GORGA; Saya rasa ada. Kalau nggak salah dulu legenda boru Tumbaga, itu adalah satu turi-turian. Yang lalu dibuat dramanya oleh Tilhang Gultom. Saya dengar tahun 1921, waktu itu saya belum lahir. Tilhang sudah membuat opera Batak.
TAPIAN; Dengan nama Serindo?
GORGA; Yang membuat namanya Serindo itu dulunya Sukarno. Dulu lain namanya, tetapi dia mendapat penghargaan dari Soekarno. Waktu itu diminta diubah namanya menjadi seni ragam Indonesia (SERINDO).
TAPIAN; Opera yang dipentaskan Serindo, apakah benar diadaptasi dari turi-turian?
GORGA; Memang saya tidak tahu persis. Tetapi dia katanya pernah membuat opera mengenai boru Tumbaga—boru Tumbaga itu mengisahkan suka-duka bagaimana kisah orang yang tidak mempunyai saudara laki-laki. Dulu, sesuai dengan adat-istiadat kita yang zaman dulu itu. Satu keluarga itu selalu mendambakan harus ada anak laki-laki, kalau dia hanya perempuan, tidak memiliki saudara laki-laki. Maka warisan-nya akan hilang. Jadi, yang berhak untuk mewarisi warisan orang tua hanya laki-laki.
Begitulah kisah dua orang saudara perempuan itu diperlakukan orangtuanya laki-laki, dengan mengalami penderitaan bathin. Jadi itulah akibat adat yang kuno, memang kalau dilihat dari sekarang yang benar itu. Setelah adanya emansipasi wanita. Yang terlebih dahulu dibudayakan oleh bangsa-bangsa Barat yang kemudian masuk ke budaya kita. Atau barangkali itu semacam kritikan dulu terhadap adat istiadat yang tidak benar. Saya sendiri hanya mendengar saja. Ya membaca-baca serba sedikit. Dari naskah boru Tumbaga itu.