Mohon tunggu...
Hotman Nainggolan
Hotman Nainggolan Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Pegiat Marketing Persahabatan,Fasilitator dan Konsultan

Penulis,Pegiat Marketing Persahabatan, Penulis, fasilitator/pengajar dan Konsultan. Penulis buku "Anak Kampoeng dari RoeraBagas" dan "Beyond Marketing Persahabatan". Jangan lupa kunjungi facebook saya"Marketing Persahabatan Society" untuk mendapatkan tips-tips dalam Marketing Persahabatan dengan DNA C2N. Saat ini tinggal di rumah inspirasi "Sopo RoeraBagas"

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Undang-undang Holding Company sebagai Ius Constituendum dalam Menyongsong Super Holding BUMN di Indonesia

27 Mei 2019   12:40 Diperbarui: 27 Mei 2019   12:56 6280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

I. Pendahuluan.

Pemerintah melalui Menteri Badan Usaha Milik Negara (Menteri BUMN) pada tanggal 28 Nopember 2017 yang lalu secara resmi telah menandatangani akta pengalihan (inbreng) saham seri B yang terdiri atas PT Aneka Tambang (Antam) Tbk sebesar 65%, PT Tambak Bukit Asam Tbk sebesar 65,02%, PT Timah Tbk sebesar 65% serta 9,36% saham PT Freeport Indonesia yang dimiliki Pemerintah kepada PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero).

Pengalihan saham (inbreng) ini adalah dalam rangka penyertaan Modal Negara kedalam modal perseroan (Investor Daily, tanggal 29 Nopember 2017 hal 9).  Hal ini dilaksanakan setelah terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2017 tentangPenambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Aluminium yang telah diundangkan tanggal 13 Nopember 2017.

Dengan ditandatanganinya pengalihan Saham (inbreng) tersebut, maka  issu yang muncul adalah apakah proses pengalihan saham (inbreng) ketiga BUMN Industri Pertambangan tersebut serta Pembentukan induk usaha (holding) BUMN Industri Pertambangan dimaksud sudah memenuhi kaidah-kaidah hukum yang berlaku, khususnya aturan hukum dalam proses pembentukan holding BUMN, sehinga apabila proses penggabungan dan pembentukan induk usaha (holding) BUMN dilaksanakan untuk bidang yang lain secara landasan yuridis telah kuat dan telah memenuhi kaidah-kaidah hukum yang berlaku. Karena seperti kita ketahui bahwa Pemerintah melalui Kementerian BUMN telah merencanakan untuk melanjutkan proses pembentukan induk usaha (holding company)  BUMN diberbagai bidang yang lain, seperti bidang Keuangan, bidang Konstruksi, bidang Migas, bidang jalan tol, bidang Kemaritiman dan holding BUMN bidang Perumahan.

Adapun peraturan yang menjadi landasan hukum pembentukan holding BUMN di Indonesia diatur melalui Peraturan  Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas.

Sedangkan pelaksanaan pembentukan induk usaha (holding) BUMN bidang Tambang diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Aluminium.

Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai problematika hukum dalam pembentukan induk usaha (holding) di Indonesia, kita akan membahas terlebih dahulu pengertian dan penjelasan mengenai holding company itu sendiri.

Menurut Black's Law Dictionary, holding company diartikan sebagai[1]: 

"A company that usually confines its activities to owning stock in, and supervising management of, other companies. A holding companies usually owns a controlling interest in the companies whose stocks it holds. In order for a corporation to gain the benefits of tax consolidation, including tax free dividends and the ability to share operating losses, the holding company must own 80% or more of the voting stock of the corporation." . 

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa holding company merupakan sebuah perusahaan yang memiliki saham pada perusahaan lain yang menjadi targetnya sehingga perusahaan tersebut menjadi pengendali di perusahaan lain yang menjadi targetnya tersebut.

Ada beberapa isu permasalahan Hukum yang terjadi jika induk usaha (holding) BUMN Tambang ini dilaksanakan dengan landasan hukum Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2016, yakni;

1.    Hilangnya status BUMN dari ketiga perusahaan yang menjadi anggota holding, dalam hal ini PTAnekaTambang (Persero) Tbk, PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero)Tbk dan PT Timah (Persero)Tbk.  Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN  menyebutkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai BUMN adalah jika sebagian besar modalnya dimiliki Negara melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan dan yang bisa mendapatkan kebijakan khusus Negara, termasuk pengelolaan sektor strategis seperti pengelolaan sumber daya alam.

Akibatnya ketiga anak perusahaan holding tersebut akan menjadi Perusahaan Perseroan Terbatas (PT) dan bukan lagi sebagai Perusahaan PT (Persero). Konsekuensi hukum lebih lanjut adalah sebagai Perseroan Terbatas Non Persero maka PT Antam (Tbk),PT Timah (Tbk) dan PT Bukit Asam(Tbk)sepenuhnya akan tunduk terhadap ketentuan UU Nomor 40 Tahun 2007  tentang Perseroan Terbatas. Ditinjau dari aspek pengawasan Pemerintah terhadap ketiga perusahaan anggota holding tersebut, maka pengawasan hanya dapat dilaksanakan secara tidak langsung ,yakni melalui Perusahaan Induk (holding) PT Inalum. Namun dari aspek yuridis formal baik Kementerian BUMN maupun DPR RI tidak bisa lagi secara langsung melakukan pengawasan terhadap ketiga perusahaan Tambang anggota holding dimaksud.

2.    Permasalahan Hukum yang lain adalah bahwa sebagai perusahaan yang sudah go public (Tbk) maka proses pembentukan induk usaha (holding) ini akan berhadapan dengan hak-hak hukum dari para pemegang saham minoritas (masyarakat) yang telah membeli saham ketiga anak perusahaan holding tersebut melalui pasar modal (bursa). Artinya hak-hak hukum mereka sebagai pemegang saham non pengendali atau pemegang saham minoritas bisa terabaikan jika dalam proses pengalihan saham (inbreng) terjadi kerugian ( misalnya jika harga saham turun secara signifikan) tidak diatur dengan jelas mengenai tanggungjawab perusahaan terhadap pemegang saham minoritas , sehingga sangat rentan terhadap gugatan hukum dikemudian hari. Gugatan pemegang saham minoritas ini sangat dimungkinkan, karena Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseron Terbatas

II. Pembahasan

1. Pokok Permasalahan.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dalam tulisan ini rumusan masalah yang akan dibahas adalah aspek hukum dan kajian terhadap penerapan landasan hukum Pembentukan Induk Usaha(holding) BUMN Industri Pertambangan dalam hubungannya dengan aturan hukum yang sudah ada sebelumnya yang berlaku sebagai hukum positif untuk BUMN dimaksud. 

Adapun pokok Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah:

1). Bagaimana aturan Hukum Penggabungan BUMN kedalam satu induk usaha (holding) yang terdapat dalam peraturan Perundang-undangan yang ada dan berlaku saat ini?

2). Apakah diperlukan sebuah aturan khusus yang memerlukan campur tangan legislatif (DPR RI) dalam bentuk Undang-Undang mengenai proses pembentukan induk usaha dan penggabungan BUMN ke dalam induk usaha (holding) yang telah ditetapkan?

3). Apakah proses pengalihan saham ketiga BUMN Industri Pertambangan tersebut serta Pembentukan Induk Usaha (holding) BUMN Industri Pertambangan dimaksud sudah memenuhi kaidah hukum yang berlaku?

Kajian permasalahan hukum dalam pembentukan induk perusahaan (holding company) BUMN bidang Pertambangan ini akan dibahas lebih dalam berdasarkan teori dan konsep-konsep hukum yang diperhadapkan pada fakta hukum yang ada.  Artinya aturan hukum yang ada mengenai tata cara penyertaan dan penatausahaan modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.72 tahun 2016  tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas perlu dikaji lebih dalam lagi, apakah sudah koheren dan sejalan dengan peraturan-peraturan di atasnya dan peraturan yang telah mendahuluinya serta apakah tidak ada ketentuan yang saling berlawanan atau kontradiktif dengan aturan-aturan lainnya yang dapat menimbulkan disharmonisasi peraturan.

2. Potensi Permasalahan Hukum apabila pembentukan induk Usaha (holding) BUMN menggunakan dasar hukum Peraturan Pemerintah

 Secara bisnis dapat dikatakan bahwa pembentukan induk usaha (holding) diharapkan bisa mendorong BUMN semakin sehat dan berdaya saing tinggi serta mengembangkan skala ekonomi. Hanya saja jika payung hukum yang digunakan tidak kuat, baik dari segi substansi maupun materilnya, maka pembentukan induk usaha ( holding) BUMN sangat rentan terhadap masalah hukum, terutama berkaitan dengan sistem dan ketentuan keuangan negara.

 Kalau kita melihat kebelakang proses terbitnya Peraturan Pemerintah No 72 tahun 2006  tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas, dapat diketahui ada dua landasan hukum yang menjadi induk dan dasar dari penyusunan PP 72 Tahun 2016 dimaksud, yakni Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang kemudian diturunkan menjadi PP 44 tahun 2005. Namun demikian didalam kedua Undang-Undang tersebut, baik UU No 17 tahun 2003 maupun UU No 19 tahun 2003 belum ada satu pasal pun yang secara khusus mengatur mengenai ketentuan pembentukan dan keberadaan induk usaha (holding company) BUMN. Dengan demikian proses terbitnya PP No 72 tahun 2016 yang dikaitkan dengan UU No 17/2003 dan UU No 19/2003 menjadi lemah substansinya.

3. Undang-Undang sebagai Ius Constituendum terhadap permasalahan Hukum Pembentukan Induk Usaha (holding) BUMN.

Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar menjelaskan pengertian Ius Constituendum  adalah hukum yang dicita-citakan (masa mendatang). Artinya bahwa ius constituendum adalah hukum yang masih harus ditetapkan; hukum yang akan datang[2]  . Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ius constituendum adalah hukum yang dicita-citakan dalam pergaulan hidup negara, tetapi belum dibentuk menjadi undang-undang atau ketentuan lain.

Dalam kaitannya dengan caruk maruknya aturan hukum yang digunakan dalam proses pembentukan induk usaha (holding company) BUMN selama ini, penulis berpendapat bahwa akar permasalahannya selama ini adalah belum adanya sebuah mekanisme hukum yang mengatur keberadaan induk usaha (holding company) di Indonesia, baik ketentuan yang mengatur proses pembentukannya maupun aturan mengenai keberadaan dari holding company itu sendiri dalam tatanan hukum di Indonesia.

Ketiadaan mekanisme hukum mengenai holding company ini menjadi sebab utama yang sering menimbulkan perdebatan dan gugatan yang setiap saat bisa timbul apabila pemerintah merencanakan membentuk sebuah induk usaha (holding) BUMN dimasa mendatang. Dalam faktanya ketentuan mengenai keberadaan holding company ini sudah merupakan sebuah keharusan dan merupakan sebuah hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) yang sangat mendesak untuk ditetapkan sebagai hukum positif (ius constitutum). Persoalannya bagaimana menggerakkan institusi/lembaga yang berwenang untuk membuat Undang-Undang (Pemerintah dan DPR) dapat segera merealisasikannya agar aturan hukum yang seharusnya harus ada ini (das sollen) menjadi aturan hukum yang ada dan berlaku (das sein).

4. Legitimasi PP No.72 tahun 2016 ditinjau dari aspek pengawasan DPR 

Perdebatan mengenai tidak dilibatkannya selama ini lembaga legislatif (DPR) dalam proses pembentukan induk usaha (holding company) BUMN dan hilangnya fungsi pengawasan DPR dan BPK terhadap BUMN yang menjadi perusahaan anak (inbreng) dari sebuah holding company BUMN merupakan sebuah persoalan hukum. Perdebatan ini berawal dari tindakan pemerintah yang menerbitkan Peraturan Pemerintah No 72 tahun 2016 sebagai landasan hukum yang digunakan Pemerintah untuk memproses pembentukan induk usaha (holding) BUMN, dimana sesuai ketentuan aturan perundang-undangan setingkat Peraturan Pemerintah tidak perlu melibatkan DPR dalam proses dan pembahasannya.

Sementara dilain pihak DPR sebagai lembaga legislatif yang mempunyai fungsi legislasi dan pengawasan terhadap keuangan negara berpendapat bahwa proses pengalihan saham (inbreng) yang dilakukan pemerintah dari perusahaan BUMN kepada BUMN lainnya termasuk kategori Keuangan Negara yang harus memperoleh persetujuan dari DPR terlebih dahulu.  Sehingga dasar hukum yang digunakan Pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah menjadi tidak kuat dan dianggap tidak legitimate.

Penegasan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan  dalam BUMN adalah termasuk dalam lingkup Keuangan Negara adalah berdasarkan Putusan MK No 48 dan 62/PUU-XI/2013 yang dibacakan tanggal 18 September 2014.. Dengan adanya Putusan MK ini maka setiap pengalihan kekayaan negara termasuk didalamnya pengalihan saham (inbreng) saham BUMN harus dengan persetujuan DPR.

5. Undang-Undang Keberadaan Induk Usaha (holding) BUMN sebagai solusi dan Pengembangan Hukum Ekonomi.

Berdasarkan kajian yuridis atas terbitnya Perauran Pemerintah No 72 tahun 2016 yang digunakan Pemerintah sebagai landasan hukum dalam membentuk induk usaha (holding) BUMN di Indonesia banyak mempunyai kelemahan-kelemahan. Hal ini adalah disebabkan beberapa ketentuan yang diatur dalam PP No 72 tahun 2016 tersebut saling berlawanan dengan beberapa pasal dari aturan hukum yang sudah terlebih dahulu ada dan secara hirearki lebih tinggi tingkatannya.

Selain itu banyak pendapat yang kontra/tidak setuju dari berbagai kalangan atas terbitnya Peraturan Pemerintah No 72 tahun 2016, baik dari akademisi, ahli-ahli hukum maupun dari anggota DPR  yang secara massif mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Agung dapat melemahkan keberadaan Peraturan Pemerintah dimaksud.

Untuk itu penulis berpendapat bahwa solusi hukum yang dapat dilakukan adalah dengan menerbitkan aturan hukum setingkat Undang-Undang guna mengatur lebih rinci mengenai keberadaan induk usaha (holding) BUMN di Indonesia, termasuk syarat dan proses pembentukannya.

Pembentukan Undang-Undang holding company BUMN dimaksud saat ini merupakan momentum yang sangat tepat dan menjadi salah satu bentuk  pengembangan hukum ekonomi di Indonesia dan sebagai langkah antisipasi ke depan terhadap rencana Pemerintah untuk membentuk super holding BUMN di Indonesia yang sudah digagas sejak tahun 1998.

Beberapa manfaat yang timbul jika Pembentukan  dan keberadaan Induk Usaha (holding) BUMN didasarkan kepada aturan hukum setingkat Undang-Undang adalah :

a.  Dalam proses penyusunan materi/substansi hukum atas Rencana Undang-Undang Holding Company sesuai amanah konstitusi lembaga DPR harus dilibatkan. Atau lembaga DPR dapat menggunakan hak inisiatifnya (hak untuk mengusulkan RUU) kepada pemerintah untuk dibahas.  Melalui proses pembuatan UU ini maka peran pengawasan DPR terhadap perusahaan induk (holding) maupun perusahaan anak (inbreng) yang tergabung dalam holding dapat dilaksanakan.

b.  Didalam Undang-Undang yang akan dibentuk DPR dan Pemerintah dapat menyepakati beberapa pasal-pasal krusial yang selama ini dianggap saling berlawanan diantara aturan hukum yang sudah ada dan  berkaitan dengan masalah Keuangan Negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perseroan Terbatas (Persero), sehingga pasal-pasal yang saling berlawanan/kontradiktif tersebut dapat diselesaikan dan disepakati.

Apabila Undang-Undang Holding Company ini dapat diselesaikan dan telah diundangkan, akan memberikan keleluasaan kepada Pemerintah dalam proses pembentukan induk usaha (holding company) BUMN dengan menerbitkan aturan pelaksanaannya berupa Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana telah dilaksanakan selama ini tanpa diganggu dengan adanya issu hukum yang muncul seperti selama ini, yakni issu mengenai Kewenangan Pengawasan BUMN, issu mengenai substansi Peraturan Pemerintah yang diterbitkan sebagai landasan hukum pembentukan induk usaha (holding) BUMN yang berakar kepada ketentuan Undang-Undang dimana beberapa pasal didalamnya tidak koheren (tidak padu) dan tidak konsisten dengan ketentuan perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya dan juga berlawanan dengan undang-undang yang secara hirearki lebih tinggi tingkatannya.

Berdasarkan kajian yuridis terhadap ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No 72 tahun 2016  ada beberapa pasal yang bertentangan dengan UUD 1945 dan Undang-Undang No 19 tahun 2003 tentang BUMN. Kajian terhadap UUD 1945 pasal 23 (c) yang berbunyi "Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang." Perintah UUD1945 ini diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 48/PUU-XI/2013, yang memandang bahwa atas bunyi Pasal 23C UUD 1945 ini, terdapat "hal-hal lain mengenai keuangan negara" yang secara konstitusional diperintahkan untuk "diatur dengan undang-undang"

Frasa hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang  mengisyaratkan bahwa segala hal mengenai keuangan negara harus diatur melalui Undang-Undang bukan dengan aturan lain yang secara hirearki dibawah Undang-Undang. Dengan demikian harus dipahami bahwa pengalihan saham (inbreng) adalah termasuk dalam cakupan keuangan negara sebagaimana bunyi Putusan MK No 48/PUU-XI/2013 dan No 62/PUU-XI/2013 yang dibacakan tanggal 18 September 2014 menyatakan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN termasuk ke dalam lingkup keuangan negara maka seharusnya landasan hukum yang digunakan adalah Undang-Undang, bukan Peraturan Pemerintah sebagaimana dengan terbitnya PP No 72 tahun 2016 tersebut.

Artinya bahwa Peraturan Perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai landasan Yuridis Pembentukan induk usaha (holding) BUMN ini adalah Peraturan yang sederajat atau yang lebih tinggi dan terkait langsung dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki kekuatan mengikat "erga omnes", artinya dapat berlaku bagi siapa saja tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Para pihak harus menerima apapun bunyi putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini Pemerintah juga harus mau menerima dan menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi dimaksud.

Selanjutnya Pasal 2A ayat (1) pasal 2A ayat (2), Pasal 2A ayat (6) dan pasal 2A ayat (7) PP Nomor 72 Tahun 2016  adalah bertentangan dengan Pasal 24 ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara , Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (2)  serta bertentangan dengan Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara , Pasal 5 huruf f, Pasal 6 ayat (1) huruf i UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan .

III. Penutup.

1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa langkah pemerintah dalam membentuk Induk Usaha (holding) BUMN selama ini telah menimbulkan perdebatan yang terus menerus dan berkepanjangan. Apabila perdebatan ini dibiarkan terus menerus yang merupakan salah satu gambaran bahwa peraturan yang dijadikan sebagai landasan pembentukan induk usaha (holding) BUMN ini belum dapat diterima secara luas oleh masyarakat dan atau mengalami penolakan secara terus menerus, maka sesuai pendapat Hans Kelsen yang dimuat dalam bukunya Pure Theory of Law (Teori Hukum Murni), ketentuan hukum tersebut menjadi hilang unsur validitasnya sehingga berubah sifat dari aturan yang valid menjadi aturan yang tidak valid.  

Dalam bukunya tersebut Hans Kelsen menjelaskan bahwa suatu aturan hukum harus dalam keadaan valid terlebih dahulu  baru diketahui apakah aturan tersebut menjadi efektif. Jika setelah diterapkan ternyata peraturan yang sebenarnya tidak dapat diterima oleh masyarakat secara meluas dan atau secara terus menerus, maka ketentuan hukum tersebut menjadi hilang unsur validitasnya, sehingga berubah sifat dari aturan yang valid menjadi aturan yang tidak valid

Selain itu dapat diketahui bahwa hingga saat ini aturan hukum yang khusus mengatur ketentuan mengenai pembentukan induk usaha (holding) belum ada di Indonesia. Bahkan di dalam Undang-Undang No 17 tahun 2003 sebagai aturan lex spesialis yang mengatur keberadaan BUMN dan Undang-Undang No. 40  tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas belum ada pasal-pasal yang mengatur mengenai proses inbreng dan syarat ketentuan mengenai induk usaha (holding company) di Indonesia. Dalam UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Bab I pasal 1 butir (11) dan Pasal 125 hanya diatur mengenai pengertian Pengambilalihan Perusahaan Perseroan sebagi perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambilalih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut.

Ketentuan ini sama sekali belum ada mengatur mengenai induk usaha (holding company) dan ketentuan pengalihan saham (inbreng) antara sebuah perusahaan perseroan dengan perusahaan perseroan lainnya, sehingga yang terjadi selama ini setiap pemerintah membentuk induk usaha (holding) BUMN selalu terlebih dahulu menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai landasan hukumnya. Fakta hukum juga menyebutkan bahwa dengan diterbitkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No 48/PUU-XI/2013 dan No 62/PUU-XI/2013 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan pada BUMN adalah termasuk dalam lingkup keuangan negara dimana sesuai dengan ketentuan pasal 23 (c) UUD 1945 frasa "hal-hal lain mengenai keuangan negara  diperintahkan untuk diatur dengan Undang-Undang", bukan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Hasil penelusuran penulis dari berbagai sumber, baik dari literature-literature yang ada maupun sumber-sumber hukum dari artikel/ makalah di media sosial atau internet tidak ada satupun pendapat para ahli yang menguatkan alasan pemerintah dalam hal penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai landasan yuridis pembentukan induk usaha (holding company) BUMN di Indonesia.

Hal ini dapat dimaknai bahwa subtansi hukum yang digunakan dalam pembentukan induk usaha (holding company) BUMN di Indonesia masih memerlukan aturan hukum yang lebih kuat dasarnya dan legitimate dari sekedar menerbitkan Peraturan Pemerintah, yakni aturan hukum setingkat Undang-Undang.

Untuk itu berkaitan dengan rencana Pemerintah melakukan penggabungan beberapa BUMN dalam satu induk usaha (holding), maka menurut penulis sudah saatnya  Pemerintah bersama-sama dengan DPR melakukan revisi atas UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 19 tahun 2003 tentang BUMN untuk disempurnakan dengan mamasukkan ketentuan-ketentuan mengenai keberadaan induk usaha (holding) BUMN dimaksud.

2. Saran

Untuk meminimalisir terjadinya pro kontra yang mengarah diajukannya gugatan judicial review atas setiap pembentukan induk usaha (holding) BUMN yang bisa mempengaruhi tujuan yang hendak dicapai dari pembentukan induk usaha (holding company) BUMN ini maka penulis mengusulkan hal-hal sebagai berikut :

1.         Melakukan revisi atas Undang-Undang No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang No 19 tahun 2003 tentang  Badan Usaha Milik Negara dengan memasukkan pasal-pasal ketentuan mengenai keberadaan induk usaha (holding company) BUMN didalamnya. Revisi atas Undang-Undang tersebut adalah jauh lebih baik dan lebih kuat landasan hukumnya daripada hanya sekedar melakukan revisi dan penyempurnaan atas aturan hukum yang digunakan selama ini , yakni Peraturan Pemerintah No 72 tahun 2016.

2.         Membuat Undang-Undang tentang pembentukan perusahaan induk (holding company) yang akan mengatur lebih rinci mengenai keberadaan sebuah induk usaha (holding company). Dengan adanya Undang-Undang mengenai keberadaan Induk Usaha (holding Company) ini akan menghindari terjadinya polemik dan pro kontra mengenai tidak dilibatkannya lembaga DPR dalam proses holding BUMN yang bisa melemahkan legitimasi dan tujuan dibentuknya holding.

Ada alasan yang kuat dan mendesak untuk segera dibuatnya Undang-Undang perusahaan holding (holding company) ini sehubungan dengan rencana Pemerintah dalam hal ini Kementerian BUMN yang akan memproses pembentukan beberapa induk usaha (holding) BUMN dimasa yang akan datang. Apalagi saat ini ada wacana dari Pemerintah kedepan untuk menggabungkan masing-masing holding BUMN kedalam sebuah perusahaan Super Holding BUMN di Indonesia yang akan menggantikan fungsi dan peran dari Kementrian BUMN. Selain itu selama ini keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga telah diatur sebelumnya dengan Undang-Undang yang khusus (UU No 19 Tahun 2003) maka seyogianya keberadaan Induk Usaha (holding company) BUMN juga harus diatur dengan dasar hukum setingkat Undang-Undang, yang oleh karenanya harus melibatkan Lembaga DPR dalam proses pembahasannya.

Dengan demikian berbagai  issu mengenai tidak dilibatkannya Lembaga DPR dalam proses pengawasan BUMN dapat dihindari. Sehingga untuk selanjutnya pembentukan induk usaha (holding company) BUMN tidak cukup hanya dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagai landasan hukum yang digunakan, karena hal ini sangat rawan terhadap berbagai gugatan. Undang-Undang Induk Usaha (holding company) ini harus mencakup semua perusahaan perseroan yang akan melakukan holding, baik perusahaan Perseroan BUMN maupun perusahaan Perseroan Swasta.

3.         DPR sebagai lembaga legislatif yang mempunyai fungsi legislasi agar menggunakan hak inisiatifnya untuk mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) induk usaha (holding company) ini kepada Pemerintah, sehingga peran dan fungsi DPR dalam pembentukan induk usaha (holding company) dapat berjalan melalui mekanisme Undang-Undang.

__________

[1]Henry Campbell Black, "Black's Law Dictionary" -- Centennial Edition (1891-1991), 6th Edition (St. Paul Minn: West Publishing Co., 1990), hlm. 731

[2]Mertokusumo, Sudikno,Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta 2006 hal 120

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun