Perlahan tapi pasti, bagaikan proses yang tak pernah mengkhianati hasil, satu per satu cerpennya yang lolos kurasi dimuat di koran-koran lokal. Tak lama sejak itu, Altheya menang lomba penulisan cerpen tingkat nasional. Betapa beruntung, penghargaan sastra sekelas internasional pun sanggup disabetnya.Â
Cerita-cerita pendek besutan Altheya, pengarang ternama itu jadi buah bibir banyak orang. Media sosial miliknya punya jutaan pengikut. Cerpen-cerpennya banyak mendapat kritik dari para kritikus sastra. Namanya semakin melambung sebagai sastrawan yang tak lagi diragukan.
Dalam puncak kejayaan, Altheya masih belajar dan mempertahankan kualitas cerpennya. Apalagi dia pernah mendengar, ada yang tidak suka dengan cerpennya. Katanya, entah siapa itu, tokoh yang digambarkan serasa tidak hidup. Konflik datar. Bahasa dan gaya terlalu klise. Kisah menjemukan. Hanya dengan menjaga nama baik lewat terus belajar dan mengembangkan kemampuan menulis, Altheya bisa mengatasi perkara-perkara itu.
Altheya yang tua pun masih sanggup menulis cerpen dengan baik. Setidaknya, pada permukaan batu pipih besar yang tertancap di kuburnya, ada penggalan cerita pendek miliknya sepanjang dua paragraf yang mampu menghisap perhatian para pengunjung yang sedang melayat. Nama Altheya sebagai sastrawan terkenal tampak tertulis jelas dengan huruf kapital. Di depan, belakang, kanan, kiri, terdapat pula nama-nama entah siapa, yang belum pernah dikenal, pun sedang dalam perkenalan, atau tak ingin dikenal lagi, terpampang di atas batu-batu nisan.
Begitulah, memang sudah banyak nama terlahir di dunia. Tak sedikit pula nama-nama itu berganti dengan berbagai alasan. Ada kalanya, orang-orang susah payah mencari nama untuk mendapat perhatian. Di puncak perhatian, hanyalah menjaga nama baik yang perlu dilakukan. Pada akhirnya, nama-nama beristirahat dengan tenang, berjumpa dengan nama-nama lain yang lebih dulu mendahuluinya.
...
Jakarta
18 Januari 2022