Setelah menutup telepon ibu, aku lekas menarik tangan istriku. Aku mengajaknya duduk sebelum emosi orang-orang sampai pada puncak. Lagi pula, kulihat istriku sudah meraba saku celana. Tangannya seperti hendak mengambil gunting. Kurasa jika aku tidak cepat mendekatinya, peristiwa kekerasan terjadi.
Aku mencoba lagi berkata hal yang kurasa mustahil. Tapi, itu lebih baik daripada orang-orang memukulinya. Terlebih lagi petugas keamanan sudah mengamati dari kejauhan.
"Dek, kita doa saja. Kita minta tolong Yang Kuasa melindungi. Tidak ada hubungannya jin takut sama gunting. Ibu dari tadi sudah telepon. Kita harus berangkat sekarang!"
"Tapi, Mas, tapi..."
"Ini semua demi darah daging kita. Bagaimana kalau..."
Aku memeluk tubuh istriku. Aku merasakan denyut jantungnya berdetak cepat. Aku merasakan tubuhnya basah kuyup penuh keringat. Aku mendengar desahan napasnya masih penuh emosi. Dalam hati, aku berharap ia dengar permintaanku. Ibu tidak bisa lama-lama menunggu. Aku terus berdoa.
Antrean sudah sepi. Sebagian penumpang sudah masuk pesawat. Tinggal kami dua tersisa. Tiba-tiba, istriku mengajakku berdiri. Aku mengikuti dari belakang. Aku melihat ia melepas sarung tangan. Ia mengambil gunting dari saku celana lantas memasukkannya ke dalam kotak di dekat pintu deteksi.
Aku begitu bersyukur, ia melakukan apa yang kuinginkan. Aku senang, ia masih mempertimbangkan dan mau memikirkan keluargaku. Ia sudah mencoba berani melawan ketakutan dari cerita takhayul itu.
Kupikir, aku bisa terus bersyukur dan bersyukur. Namun, selepas kami tiba di kampung, secepat kilat istriku mengajakku mampir ke toko kelontong di luar bandara. Ia membeli sebuah gunting untuk disimpan di saku celana.
"Saya tidak bisa jamin, Mas, di rumah ibu tidak ada jin. Ini semua demi anakmu!"
Aku geleng-geleng kepala. Istriku, oh, istriku! Â
...
Jakarta,Â
29 November 2021
Sang Babu Rakyat