Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Cerpenis.

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG @cerpen_sastra, Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen (Pulpen) Kompasiana, Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (Kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), dan Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (Indosiana). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Rumah Ogleng

13 November 2021   19:19 Diperbarui: 13 November 2021   19:27 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah, sumber: Pixabay/Pexels

Ogleng masih duduk di lantai teras rumah. Matanya kosong, memandang jalan di depan. Sejauh matanya memandang, jalanan itu kosong. Orang-orang serasa pergi entah ke mana. Selama Ogleng memandang, berkali-kali Ogleng membuka dompet di saku celana. Juga kosong.

Ogleng tidak tahu harus berbuat apa lagi. Ponsel-ponsel bermerek yang Ogleng punya, sudah hilang satu demi satu, terjual. Deretan motor mewah yang sempat menghiasi garasinya dan menjadi tontonan banyak orang, juga hilang, kali ini serempak, pun karena terjual.

Ogleng sempat menjadi orang terpandang di kampungnya. Bukan karena usaha Ogleng sehingga ia terbilang orang berhasil. Bukan pula karena Ogleng sudah membantu banyak warga lantas ia dikenal sebagai orang baik.

Satu-satunya yang seketika menaikkan derajat Ogleng di mata para warga adalah ketika Ogleng beroleh kabar bahwa ia juga mendapat warisan dari ibunya. Ibunya punya banyak rumah, tersebar di berbagai kampung.

Ogleng tinggal menerima dan tidak bisa menawar apa-apa. Posisinya sebagai anak terakhir dari empat bersaudara hanya mampu membuatnya menganggukkan kepala waktu surat wasiat dibacakan sehari setelah ibu meninggal.

"Saya tidak mau rumah itu!" ucap Ogleng setelah sesaat berdiri dari tempat duduk. Ketiga saudaranya yang juga berdiri di depannya menatap tajam.

"Syukur-syukur kamu masih dapat rumah. Apa yang sudah kamu buat untuk ibu? Ibu sakit, kamu malah asyik di kota!" jawab salah satu saudara sambil berkacak pinggang saat itu.

Ogleng merasa rumah yang jadi bagiannya -- meskipun paling besar di kampung itu -- adalah yang paling kecil di antara rumah-rumah untuk kakaknya. Rumah itu berlantai dua. Cat temboknya berwarna biru. Ada sedikit teras di depan.

Ogleng sebetulnya ingin rumah yang lebih besar. Paling besar pun, ia berusaha keras mendapatkan. Tapi, tulisan dalam surat wasiat ibu tidak bisa diubah. Amarah saudara-saudaranya yang tidak kunjung redam pun sulit dilawan.

Pada sisi lain, bersama dengan kepulangan Ogleng dari kota, Ogleng membawa begitu banyak utang yang harus dilunasi. Ia kalah judi. Rumahnya di kota sudah terjual. Ia masih terlilit utang. Sempat pula ia tertipu dan diperdaya oleh wanita-wanita simpanan. Ia pulang memang untuk cari warisan. Tetapi, tidak rumah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun