Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Jangan Duduk di Depan Pintu!

1 November 2021   00:09 Diperbarui: 1 November 2021   08:53 1070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pintu rumah, sumber: Pixabay via suara.com

Belum genap lima hari kepergian ibu, ayah Lilis sudah tidak sabar untuk segera memugar rumah. Genting-genting bocor lekas ditambal. Dinding-dinding yang terkelupas catnya dilabur. Ubin yang baru dibeli dari toko dipasang menggantikan ubin-ubin retak. Daun pintu itu masih tidak bisa diapa-apakan. Lilis duduk di depannya.

"Pak, bagaimana ini? Saya tidak bisa lama-lama. Semua sudah beres sesuai jadwal. Tinggal itu yang harus diselesaikan. Bapak harus berbuat sesuatu. Saya masih punya pesanan pekerjaan di tempat lain," kata Wanto ketika duduk bersama ayah Lilis di ruang tengah. Telunjuknya mengarah tepat ke punggung Lilis, yang sedari hari pertama meninggalnya ibu, masih saja duduk di depan pintu depan.

Pintu yang terbuat dari kayu Mahoni itu sudah lapuk di sana-sini. Ketika gagang pintu digeret ke dalam, terdengar bunyi derit begitu nyaring, seperti hampir merobek gendang telinga. Bunyi itu lebih nyaring dibanding kuku jari yang menggores papan kapur tulis hitam.

Wanto sudah menyiapkan daun pintu baru. Kali ini -- sesuai dengan bayaran ayah Lilis -- bahannya kayu Jati. Siapalah tukang kayu yang tidak mengerti ketahanan kayu Jati? Wanto tidak ingin mengecewakan pelanggan, meskipun ia terus mendapat godaan dari sesama tukang.

"Ayah Lilis itu tidak tahu apa-apa soal kayu. Buat saja tetap Mahoni. Kan lebih murah tuh! Nah! Sisanya bisa buat tambah-tambah kita," celetuk kawannya ketika mereka berdua hendak membuat daun pintu di bengkel ukiran.

"Apalagi sudah diwarna hitam. Ia pasti sulit membedakan," celetuk kawan satu lagi.

Wanto sebagai tukang kayu ternama di desa itu sama sekali tidak menanggapi. Ia merasa perlu, menjaga kepercayaan pengguna jasanya. 

Baginya, kejujuran lebih penting daripada untung tipu-tipu. Siapa pula nanti yang akan memakai jasanya lagi, jika diketahui pintu itu ternyata gampang lapuk? 

Belum lagi pintu itu terletak paling depan. Setiap hari terpapar sinar matahari. Hujan yang turun dengan deras pasti membasahi barang sedikit. Apalagi kanopi depan rumah ayah Lilis tidak panjang ke depan.

Sudahlah tinggal dipasang, itu pintu. Pintu yang lama dibongkar, engsel-engselnya dicabut, lantas sekejap terpasanglah pintu baru. Pengalaman Wanto sebagai tukang kayu bertahun-tahun membuatnya tidak butuh waktu lama mengerjakannya. Tidak lebih lama dibanding waktu menunggu satu-satunya anak gadis dalam rumah itu beranjak dari duduknya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun