Soal duri pada bunga, ternyata itu adalah permintaan seorang dewi duri yang turun dari kahyangan. Ia diharuskan oleh sesosok untuk berbuat baik, tetapi ia tidak mengerti bagaimana caranya. Sosok itu menjanjikan bahwa jika kebaikan telah dilakukan, dewi akan mendapat mantra yang bisa mengabulkan satu keinginan.
Di dunia, ia bertemu dengan sebuah bunga yang bisa bicara. Bunga itu mampu menceritakan latar belakang dirinya, meramal nasibnya ke depan, bahkan saking akrab, terjalin hubungan yang terasa manis di antara keduanya.Â
Kemudian, di tengah perjalanan, ia berjumpa seorang tabib yang memercayai bahwa putra penguasa tanah yang sedang diobatinya hanya bisa sembuh dari duri-duri langka. Begitulah, akhirnya, duri-duri pada tubuh dewi duri terpotong, seperti menderita.
Kebaikan telah dilakukan, mantra pun muncul. Permintaan silakan diajukan. Kemungkinan besar, pembaca akan menyangka, ia meminta kembali ke kahyangan. Kenyataannya, ia meminta bersatu dengan bunga itu dan melekat sebagai duri di tangkainya.
Mitos dalam pandangan sebagian masyarakat
Pada sisi lain, kita tidak bisa menampik, cerita turun-temurun yang dikisahkan orangtua kepada anak waktu kecil juga dipandang sebagai mitos oleh masyarakat.
Dongeng-dongeng khayalan dan sebab akibat singkat -- disadari atau tidak -- telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Karena logika belum begitu terlatih, kebanyakan anak kecil -- termasuk saya -- percaya saja. Semisal:Â
kalau makan jangan sisa-sisa. Nanti, petani bisa menangis.
Bayangkan, bagaimana petani bisa tahu kalau nasi di piring kita tidak habis? Bukankah petani rumahnya jauh, berjarak beratus-ratus kilometer dari rumah kita? Apakah rohnya sedang di samping kita, mengamati kita sedang makan?
Tetapi, saya -- barangkali juga Anda -- percaya saja. Alhasil, kalau makan, ambil secukupnya saja. Kalau kurang, baru tambah. Terlebih menjadi percaya jika itu disampaikan orangtua dengan nada menakut-nakuti. Hahaha...