Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Cerpenis.

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG @cerpen_sastra, Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen (Pulpen) Kompasiana, Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (Kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), dan Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (Indosiana). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Gigi Tanggalku Ditaruh di Mana?

26 Oktober 2021   11:01 Diperbarui: 26 Oktober 2021   11:48 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gigi tanggal, sumber: Shutterstock via Kompas

"Jangan nangis, Bi! Jangan nangis! Anak laki kok nangisan?" Ibu berseru dengan suara keras. Kepalaku mendadak sedikit pusing. Jari telunjuk dan ibu jari ibu mendekati gigi seriku. Kulihat benar kuteks merahnya mengilat.

"Nanti saja, Bu. Bisa tidak nanti? Aku belum mau dicabut," rengekku minta kelonggaran waktu. 

Sejujurnya, aku sudah kesakitan karena ngilu yang terus menyerang gusiku. Gigi seri bawahku nomor dua dari kiri sejak tiga hari lalu sudah goyang-goyang, seperti hendak lepas. Tetapi, aku masih merasa, ada sedikit akarnya yang masih tertancap kuat, terutama di bagian pinggir.

Aku sempat kepikiran untuk menunda mencabut gigi itu. Bayangkan, gigi itu letaknya paling depan. Sudah tentu, setiap tersenyum, pasti terlihat orang banyak. Betapa malu aku kalau diketahui sedang ompong. Pasti teman-teman mengejekku.

"Kalau tidak lekas dicabut, nanti bisa busuk itu gigi. Duduk yang manis. Ibu biar bisa cabut dengan baik."

Aku membetulkan dudukku di atas kursi ruang tamu. Aku melihat jari-jari ibu semakin mendekati gigiku. Kini, jaraknya sejengkal telapak tangan dari mataku. 

Aku sempat melihat kakak dari kejauhan tersenyum. Entah, senyuman itu hendak memberi semangat atau mentertawaiku. Matanya yang berisi kenangan terus memandangku.

Air mataku semakin banyak mengalir. Aku merasakan aliran itu membasahi mulai dari tepi hidung, jatuh ke bibir, sampai menetes ke bajuku. Aku berteriak semakin kencang. Tangan ibu yang satu lagi memegang tanganku.

"Tenang, tenang. Tidak sakit ini. Tenanglah!"

Aku memejamkan mata. Aku memusatkan pikiran ke gigi itu. Jantungku berdetak cepat. Aku membuka mulut lebar-lebar. Lidahku kulekatkan pada gigi itu, seperti ingin menunjukkan ke ibu bahwa gigi itu yang dicabut. Aku tidak mau, jika akhirnya gigiku tercabut, ibu salah cabut gigi. Ibu kan bukan dokter gigi. Tukang gigi saja tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun