Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Hari Pertama Lamin di Ibu Kota

25 Oktober 2021   13:35 Diperbarui: 25 Oktober 2021   15:46 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibu kota, sumber: Kompas/Priyombodo

Lamin sudah paham dan pastinya sangat bahagia perihal perpindahan dirinya ke ibu kota, yang tiba-tiba saja diminta atasan pusat untuk menduduki jabatan lebih tinggi. Pada sisi lain, Lamin sedang belajar paham, mengapa banyak teman kerjanya dari ibu kota sering mengeluh, betapa orang bisa dengan mudah mati kelelahan sekadar menempuh perjalanan di jalanan.

Bagaimana tidak? Pertama kali ia menginjakkan kaki seusai mendarat di bandara, tumpukan mobil sudah berderet-deret sejak keluar dari tempat parkir. Dari dalam taksi, ia menyaksikan berbagai mobil yang tidak pernah dilihatnya dan hanya ia tahu dari iklan merek-merek ternama di televisi, tampak satu demi satu, berjajar dengan jarak cukup jauh, barangkali sopirnya takut terjadi goresan yang tentu memakan biaya banyak sekadar mendempulnya.

Belum lagi ketika taksi yang ditumpangi Lamin keluar dari wilayah bandara. Motor segala rupa lalu-lalang melejit, menyusup dan mencari celah-celah kecil di tengah keramaian, di segala sisi jalan, membuat jantung Lamin sempat berdetak kencang. Ia tidak menyangka, dengan begitu cepat dan tanpa merasa bersalah, bisa-bisanya seorang pengendara motor melaju kencang, menyalip taksinya dari sisi kiri. Ia bertambah kesal pula, waktu dilihatnya motor itu tidak menyalakan lampu sein.

Belum ada sejengkal perjalanan, taksinya harus berhenti. Lamin menekan sebuah tuas. Jendela di samping tempatnya duduk terbuka. Lamin mengeluarkan kepala sedikit keluar, mengintip apa yang sedang terjadi. Dari kejauhan, terlihat lampu lalu lintas sedang merah. 

Awalnya ia mencoba maklum. Pastilah, bila merah harus berhenti. Tetapi, barangkali kesabarannya sedang diuji. Ia mulai merasa tidak nyaman dan sesekali mengembuskan napas panjang, melihat taksinya berhenti berkali-kali.

"Lampu merah lagi, Pak?" tanya Lamin yang duduk di kursi belakang. Sopir taksi melihat ke arah spion tengah. Tampak bayangan wajah seorang lelaki berkumis tebal dan berjanggut panjang sedang gusar.

"Biasa, Pak. Namanya juga ibu kota," jawab sopir berusaha menenangkan.

"Sehari-hari selalu begini?"

Sopir itu tidak menjawab. Lamin melihat kepalanya bergerak turun seperti mengangguk. Sopir itu sendiri sedang memandang ke depan, memastikan kali-kali saja mobil di depan sudah bergerak.

Untuk mengurangi kejenuhan, Lamin mengeluarkan seutas kabel yang ujungnya terbelah dua, masing-masing terpasang pengeras suara. Ia menancapkan ujung yang lain pada lubang kecil di ponselnya. Kepalanya bergoyang-goyang. Sedikit musik Jazz memang begitu efektif mengembalikan suasana hatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun