Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Cublak-Cublak Suweng di Joglo Ini

19 Oktober 2021   23:30 Diperbarui: 20 Oktober 2021   00:51 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sudah menunggu sedari tadi. Bus yang mengantarku ke sini ternyata lebih cepat sampai daripada yang kukira. Barangkali aku salah, masih membawa bayangan kota ke desa ini. Mana ada desa yang kena macet?

Tapi, ya sudahlah, berhubung memang kebiasaanku berusaha selalu datang lebih awal -- karena aku mencoba menghormati orang lain -- kuhabiskanlah waktu menunggu dengan ikhlas, bersama bayangan-bayangan masa lalu yang tiba-tiba saja melintas, sesaat setelah aku melihat rumah berbentuk trapesium ini. Di sini, namanya Joglo.

Dadaku mendadak terasa hangat. Aku tidak kuasa bahkan kali-kali aku tidak sempat merasa, sudah ada bulir-bulir embun membasahi pipi. Sebagian kenangan memang selalu berhasil menjadi sumber bahagiaku, membuatku mampu bertahan hidup, bahkan merasa perlu untuk terus hidup, guna sekadar mengulang kenangan-kenangan indah itu.

Boleh dibilang, Joglo ini selalu mendapat tempat di salah satu bilik hatiku. Sudah cukup lama aku pergi, tetapi Joglo ini masih terawat baik. Kayu-kayu jati sebagai dinding dengan ukiran yang terpahat apik masih kokoh berdiri. Pada sekeliling Joglo, ada pagar yang juga terbuat dari kayu, tidak seberapa tinggi. Dulu, waktu kecil, aku suka melompatinya.

Pintu depan yang berwarna cokelat masih tetap cokelat bahkan sekarang lebih mengilat, seperti tidak pernah lapuk dan selalu baru. Aku sempat mencium bau pelitur, barangkali pintu itu baru saja selesai dipugar. Satu dua jendela di samping terbuka lebar. Angin masuk keluar dengan leluasa, membuat suasana Joglo selalu sejuk, meskipun matahari tidak henti memancarkan sinarnya yang terik itu.

Aku melepas sepatu. Aku melangkah masuk, seusai mendapat izin dari ketua RT setempat, yang memang sengaja ditunjuk sebagai pengurus Joglo, dari tahun ke tahun.

Banyak warga punya kenangan indah di sini. Aku tidak tahu pasti, kapan Joglo ini ada. Waktu aku lahir, Joglo sudah lebih dulu ada. Para warga menggunakannya sebagai tempat pertemuan, barang arisan, rapat RT, pemilihan kepala desa, dan lainnya, yang butuh ruangan luas dan menampung cukup banyak orang.

Karena terlalu sering warga beraktivitas di sini, barangkali mereka bersedia dengan senang hati, merogoh koceknya dalam-dalam, untuk merawat salah satu Joglo kebanggaan desa ini. 

Aku duduk di salah satu kursi kayu tepat di sebelah kiri pintu depan. Aku menatap ke arah halaman. Dari kejauhan, anak-anak kecil sedang berlarian.

Ada sebuah pohon Mangga tumbuh tinggi besar. Ada pula pohon Jambu yang mulai berbuah. Jambu-jambu berwarna merah muda itu sempat menggodaku untuk memetiknya. Tetapi, perhatianku tiba-tiba teralihkan dengan lima orang anak kecil yang tepat di dekatku, di lantai pada tengah-tengah teras Joglo ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun