Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Selendang Merah Minah

9 Oktober 2021   21:56 Diperbarui: 9 Oktober 2021   23:52 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi selendang, sumber: Pixabay

Tidak ada waktu yang tepat untuk menggambarkan kapan seorang perempuan paruh baya yang sebentar lagi memasuki masa menopause itu mengistirahatkan matanya dengan lelap, tanpa gangguan dan risauan yang selalu saja membuat hatinya tidak pernah tenang. Ia berusaha mengerti gangguan-gangguan berupa semacam isyarat bunyi-bunyian itu, yang tidak bisa dipahami lewat bahasa dan kata-kata. Hanya nalurinya yang bisa membaca itu semua. Itu pun ia latih berkali-kali, tidak pernah terjadi secara alami.

Dua hari lagi aku harus pergi ke desa itu untuk mengunjungi seseorang yang begitu berharga dalam hidupku. Sebagian waktu dan ruang yang telah kulewati kuhabiskan bersamanya. 

Aku sangat merasakan kasih sayangnya. Itulah yang menggerakkan diriku, mau tidak mau, kupaksakan bagaimana pun keadaan -- bahkan jika pekerjaan menumpuk aku pasti sengaja ambil cuti -- untuk menemuinya. Aku tidak pernah membayangkan bagaimana aku sekarang jika orang itu tidak pernah ada.

Namanya Minah. Dahulu, pertama kali aku mengenalnya ketika ia pada siang hari yang begitu terik, datang tergopoh-gopoh dengan keringat yang membasahi tubuh, lantas mengetuk pintu rumah seraya memanggil- manggil seperti sedang memohon.

"Bu Lin, Bu Lin, maaf, saya terlambat."

Seseorang yang dipanggilnya Bu Lin itu mematikan api kompor di dapur, melepaskan celemek yang tergantung di leher, kemudian merapikan dan menggelung rambut panjangnya di depan cermin. Ia menggerakkan bibir seraya matanya memantau apakah lipstik merah jambu yang dioleskannya sedari pagi masih mengilat. 

Setelah ia yakin semua sudah baik-baik saja -- aku kira tidak ada perempuan yang tidak ingin tampil terbaik jika hendak bertemu orang -- dengan cepat ia berjalan ke arah ruang tamu dan segera membuka pintu.

"Yu Minah, maaf menunggu. Baru datang?"

Aku mendengarnya dari ruang tengah yang tepat bersebelahan dengan ruang tamu. Bu Lin menyilakan Yu Minah masuk dan menduduki salah satu kursi kayu berwarna cokelat, di antara lima kursi yang mengitari sebuah meja bertaplak ungu. Aku berusaha menegakkan kepala agar mataku betul-betul bisa melihat, apa yang sedang dilakukan mereka siang itu.

Tanpa banyak bicara dan sepertinya mereka sudah sepakat akan sesuatu yang terlebih dahulu barangkali pernah dibuat sebagai suatu perjanjian, Yu Minah, perempuan paruh baya itu lekas mendatangi diriku. Ia mengambil selendang merah yang dengan cepat dikeluarkannya dari dalam tas, lantas menyelimuti tubuhku dengan selendang itu, kemudian aku sudah beranjak terayun-ayun di dadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun