Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Katanya, Mayat Suka Bercanda

8 Oktober 2021   19:56 Diperbarui: 8 Oktober 2021   23:33 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mayat, sumber: Thinkstock via detik.com

Ada satu kebijaksanaan yang membuat desa itu terlihat berbeda dibanding desa-desa di sekitarnya. Sebelum saya ceritakan, barangkali kau akan terkejut jika melangkahkan kaki menuju ke sana, yang tidak mudah dicapai karena desa itu berada di balik gunung. Perjalanan melewati jalur berkelok-kelok, tepi jurang yang curam, batas jalan tak berpagar, lampu penerangan sama sekali tidak ada, menjadi tantangan besar bagi orang-orang yang hendak bertandang ke sana.

Namun, justru karena itulah, banyak orang jahat merasa desa itu adalah tempat paling aman untuk bersembunyi. Para petugas keamanan sering mengurungkan niat menangkap mereka. Bayangan kematian yang terjadi begitu saja karena kecelakaan sepanjang perjalanan menuju desa itu dan entah tidak terhitung sudah berapa banyak, kerap menghantui. Di desa itu, para penjahat dengan leluasa mengambil napas dan begitu tenang menghitung hasil kejahatan mereka.

Sebagai petugas sensus yang harus pergi ke sana guna melengkapi data kependudukan yang sebentar lagi saya laporkan pada pimpinan, saya mau tidak mau sangat berhati-hati dan hanya berani berangkat waktu matahari masih ada di langit.

Kembali tentang kebijaksanaan. Bersama dengan pelaksanaan tugas saya menghitung jumlah orang dari rumah ke rumah, secara tidak sengaja saya mendengar pembicaraan orang asli desa itu, yang baru saya sadari sangat memanusiakan manusia. 

Seberapa pun tingkat kejahatan yang sudah dilakukan, ketika mati, segala dendam harus dihapuskan dan jenazah semua penjahat tanpa memandang apa kejahatannya, harus diperlakukan sama dengan orang biasa.

"Sudah mati, buat apa dipermasalahkan lagi? Nanti kan pertanggungjawabannya ada sendiri. Kita urus saja selayaknya manusia yang siapa pun itu pasti akan mati," kata petinggi desa itu ketika ia bercerita panjang lebar karena saya sengaja mencari informasi lebih lengkap tentang warga desa darinya.

Petinggi itu tidak tahu kapan asal-muasal kebiasaan di desa itu terjadi. Ia juga bukan orang tertua dan pertama yang diangkat para penjahat sebagai petinggi. Para penjahat yang sudah melakukan kejahatan di kota sangat menaruh hormat padanya. Saya pun selamat selama sebulan di sana, tidak diapa-apakan oleh mereka, hanya karena menginap di rumah petinggi itu.

Orang-orang desa yang hampir semuanya penjahat serempak tidak akan memakamkan siapa pun di antara mereka yang meninggal oleh karena sebab apa pun, sebelum anggota keluarga minimal anak-anak telah berkumpul. 

Satu dua orang perwakilan dari desa akan pergi ke kota, bersusah payah melewati jalur pegunungan yang berkelok-kelok itu, lantas mencari anggota keluarga yang kebanyakan membiarkan mereka mati saja dan barangkali karena malu atau dendam, sering tidak sudi untuk menghadiri pemakaman.

Namun, tetap ada -- meskipun sangat jarang -- satu dua anggota keluarga datang. Selama menunggu, mayat-mayat penjahat itu dibaringkan pada satu kamar di belakang balai desa dalam kotak peti mati berwarna hitam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun