Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Cerpenis.

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG @cerpen_sastra, Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen (Pulpen) Kompasiana, Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (Kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), dan Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (Indosiana). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Beberapa Hari Setelah Kematian Bapak

16 September 2021   02:43 Diperbarui: 16 September 2021   11:14 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ruang tengah, sumber: Pixabay/flashbuddy

Saya pun ikut masuk. Saya berjalan di belakang bapak itu. Mata saya melirik ke sekitar. Di ruang tamu, sebagian keluarga besar mendiang berkumpul. Mereka bersalam-salaman dengan para pelayat. Sementara keluarga inti -- anak-anak mendiang -- masih berada di ruang tengah.

Ruang tamu dan ruang tengah terpisah oleh sebuah pintu. Tanpa sepengetahuan orang-orang, saya menyelusup ke ruang tengah. Saya membuka pintu itu. Kebetulan tidak terkunci.

"Manto?"

Terdengar suara memanggil.

"Kamu Manto, bukan?"

Terdengar langkah kaki mendekat. Saya menatap lantai. Topi menutup sebagian wajah saya. Lelaki berjas hitam menghampiri. Sepertinya ia masih ingat perawakan saya.

"Ke mana saja, kamu? Kami sudah rindu. Masak bapak sudah meninggal, kamu baru pulang?" Paman memeluk saya. Saya meneteskan air mata di bahunya. Saya merasa bersalah. Masih bercampur dengan rasa takut, saya datang.

"Dasar anak kurang ajar! Ngapain kamu datang lagi ke sini?" Ibu yang lebih muda itu berkacak pinggang. "Kamu tidak tahu diri! Giliran bapak sudah mati, kamu baru datang!" sentaknya. Urat-urat lehernya tegang. Matanya membelalak. Saya masih menatap lantai.

"Kamu masih punya muka? Hah? Masih berani kamu menginjakkan kaki di rumah ini?" Bapak yang paling tua mengoceh. Tubuh saya mendadak berkeringat dingin.

"Sudah, sudah! Bukankah ini yang kalian mau?" jawab paman.

Sebetulnya saya tidak berani menghadap abang dan kakak, tetapi istri saya mendesak. "Sudahlah, lupakan perilaku mereka. Kali ini saja karena bapak meninggal, kamu sebaiknya pulang," begitu katanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun