Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Malam yang Tidak Akan Pernah Ada Lagi

13 September 2021   05:25 Diperbarui: 13 September 2021   06:38 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi malam kelam, sumber: Pinterest via kuarter.id

Apalagi, ketiga anaknya yang kecil-kecil masih butuh nasi. Masih butuh uang untuk sekolah. Bukan butuh ucapan tanpa perhatian.

"Ibu mau ke mana?" tanya anaknya yang sudah kelas lima sekolah dasar, sesaat sebelum wanita itu mengenakan kosmetik. Ia mendapati wajah ibunya pucat pasi. Matanya layu, sorotnya mengabur. Langkahnya terhuyung seperti hampir jatuh.

"Kerjalah, Nak," jawab wanita itu pelan.

"Tapi, ibu kan sakit. Tidak bisa memang, minta izin sama bos?"

Wanita itu mengaku bekerja sebagai penjaga sebuah kafe.

"Nanti kalau ibu tidak kerja, kamu mau makan apa?"

Anak itu terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca seperti kasihan pada ibunya yang harus membanting tulang sendirian, sejak bapak keparatnya pergi begitu saja entah ke mana.

Seorang berandalan berhenti di depan wanita itu. Ia masih duduk di atas motor gede. Rambutnya yang panjang berombak tersibak angin.

"Naik!" berandalan memberi isyarat agar wanita itu lekas membonceng.

"Berapa?"

Berandalan itu menunjukkan kode seperti angka dengan tangan. Wanita itu mengangguk. Dengan cepat, ia duduk di belakang. Ia merapatkan kedua kaki. Tangan kanannya memegang pundak berandalan. Mereka melaju kencang, meninggalkan balapan motor yang semakin ramai menjelang subuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun