Seorang tetangga yang umurnya sama pula dengan Minten, yang telah menyeduh beberapa cangkir teh panas itu, dan tinggal bertepatan di sebelah rumah Wak Ji, mengiyakan.
"Iya, Pak. Saya juga lihat, Bu Minten terakhir sebelum hilang ada di rumah ini. Setelah itu, saya tidak lihat lagi."
Rumah itu begitu luas. Banyak kamar di sana, meskipun yang tinggal hanya dua orang, Wak Ji dan Minten. Mereka belum punya anak. Satu dua warga mengelilingi ruangan demi ruangan dalam rumah itu dan tidak menemukan apa-apa. Semua bahkan rapi, seperti tidak terjadi apa-apa.
Beberapa warga menyangka, apa mungkin Minten diculik? Tentu, kabar Minten adalah orang kaya gampang diketahui dan menjadi cerita orang-orang. Tidak seperti orang yang tidak punya, yang kerap kali abai diperhatikan.
Apa mungkin pula Minten dibunuh dan diambil harta-hartanya? Beberapa warga menyangkal. Pada saat hari hilangnya Minten, rumah itu bersih sekali. Lemari berisi barang antik tertutup rapat. Tidak ada yang berserak di lantai seperti habis kecurian. Tidak ada pula bekas darah berceceran atau bentuk jejak perlawanan Minten terhadap penjahat.
Wak Ji semakin terisak. Dalam duduknya, air matanya terus mengalir, mengalir, dan mengalir, disaksikan para warga. Beberapa melihatnya begitu kehilangan. Siapa nanti yang akan menemani kesehariannya?
Petugas keamanan antardesa sudah dihubungi. Daerah-daerah perbatasan untuk masuk wilayah baru sudah dilacak. Semua pos keamanan beserta kamera pengintai telah diperiksa. Tidak ada saksi yang melihat dan tidak ada bukti yang menunjukkan Minten pergi atau meninggalkan desa itu.
Beberapa warga yang berdiri di luar rumah sedikit bingung.
"Ke mana lagi kita meminjam, Bu?"
"Iya, ya, kenapa ya, Bu Minten kok bisa hilang? Mana utang saya masih banyak lagi!"
"Saya belum mengembalikan uang ke dia, Bu. Saya jadi tidak bisa tidur. Tahu sendiri, utang kan harus dibayar!"