Warga bebas mengembalikan kapan saja, tergantung seberapa sudah mampu mereka menata kembali keuangan. Meskipun, orang harus bersabar sebelum mendapatkannya.
"Kamu lho, kenapa lagi sekarang? Bukannya dulu sudah pernah lunas?" tanya Minten suatu saat pada seorang ibu. Ibu itu datang ke rumahnya. Langkahnya tergopoh-gopoh, seperti dikejar rentenir.
"Iya, maaf, Bu. Kali ini saja. Tolonglah saya."
Alis Minten naik. Ia memangku tangan di dada. Kepalanya sedikit mendongak.
"Suamimu main judi lagi? Kamu goblok! Sudah tahu main judi, jangan dikasih uang! Kamu itu dulu sekolah, tidak? Bisa ngatur duit, tidak? Jadi istri jangan mau kalah sama suami!"
Ibu itu tertunduk. Ini sudah ketiga kali ia diceramahi. Dua peristiwa sebelumnya, ia berhasil membawa pulang uang pinjaman. Ia tahu, ketika sedang butuh, lebih baik tidak banyak melawan.
"Iya, maaf, Bu Minten. Lain kali saya belajar. Tolonglah!"
Goblok, bodoh, dungu, tolol, adalah sebutan-sebutan yang lumrah didengar para warga yang hendak meminjam. Mereka rela diumpat seperti apa pun, asalkan pinjaman lunas. Toh, umpatan itu hanya sebentar. Setelah itu, pasti Minten mengeluarkan dompet dan memberikan uangnya.
"Wak Ji," ucap seorang warga, "Coba diingat-ingat lagi. Kapan terakhir Wak Ji ketemu Minten?"
Wak Ji terdiam. Ia masih saja meneteskan air mata. Di depan para warga, kaus oblong putihnya itu basah sekali. Seorang ibu menyodorkan tisu. Ia tahu, mana ada lelaki yang tahan jika ditinggal istri?
"Te... ra... khir di rumah ini, Pak," jawab Wak Ji terbata-bata.Â