Lelaki tua itu berjalan perlahan, sesekali mempercepat langkah, berulang kali berhenti mencari perteduhan di sekitar. Siang yang begitu terik seperti neraka berhasil membuat bulir-bulir keringat terus bermunculan pada setiap pori-pori kulitnya, tidak terhitung banyaknya sampai-sampai kaus yang ia kenakan hanya selapis itu seperti habis terendam dalam kubangan air.
Tidaklah beda dengan keadaan topi kain tipisnya yang berwarna hitam. Peluh yang mengumpul dan menguap lewat kulit-kulit rambut kepalanya menempel dan membasahi topi itu, dan ketika dilepaskan, aroma rambut kepalanya yang jarang sekali disampo yang sudah bercampur dengan bau peluh, menguar bersama udara, menimbulkan bau yang begitu menyengat.Â
Beberapa orang di sekitar yang kebetulan berada di dekatnya sekejap langsung menutup hidung rapat-rapat.
"Bau, Pak!"
Lelaki itu lekas-lekas menjauh.
Meskipun topi itu sudah sangat tipis karena berkali-kali dipakai -- sudah bolong pula di sana-sini -- lelaki itu tetap tidak menggantinya. Ia memang orang yang setia dan selalu memakai suatu barang sampai benar-benar tidak bisa dipakai lagi. Demikianlah ia perlakukan juga pada sepatu pantofelnya.
Warnanya hitam buluk. Hak sepatu sudah tidak ada. Ada sedikit robek dan lubang pada ujungnya. Ia sengaja tidak menjahitnya, karena itu sangat membantu menyegarkan, ketika sesekali angin berembus masuk lewat lubang dan mendinginkan jari-jari kakinya yang pengap dalam sepatu. Sesekali pula, jempolnya yang sudah keriput itu ia keluarkan dari lubang.
Pada sekeliling sepatu, ada bekas jahitan yang ia buat sendiri untuk menempelkan kembali bantalan sepatu yang mulai tipis, yang berkali-kali lepas karena gesekan dengan tanah dan jalan yang dilaluinya.
Ia memang mahir memperbaiki barang, terutama mendandani sepatu agar layak kembali dipakai. Keahlian merekatkan sol sepatu ia peroleh dari ayahnya, yang menghabiskan seluruh hidup sebagai tukang sol sepatu.
Kendati ayahnya hanya membawa sekadar uang yang cukup untuk beli sepiring nasi, telur ceplok, dan kerupuk, ia tetap bangga dengan pekerjaan ayahnya. Itu terlebih terhormat daripada mencuri, mencopet, merampok, dan seterusnya, yang semuanya mengambil hak milik orang lain secara paksa.
"Samin, meskipun kita orang tidak punya, kita harus punya adat," kata ayahnya suatu kali.